Tak Secantik Kupu-kupu
Pepohonan serta gedung kaca
pencakar langit terlihat asing bagiku, netraku yang terbiasa memandang hamparan
sawah, ternak berkeliaran juga air yang mengalir dari hulu ke hilir kini dipaksa
untuk membiasakan diri menghirup udara penuh polusi. Yang kulihat di sini hanya
wajah-wajah tak ramah penuh amarah juga rasa serakah. Berlumurkan tepung putih
dengan perona merah muda dan bibir tipis terlapis pewarna yang tidak kalah
menyala. Katanya, demi sebuah cita kita harus pergi ke kota, meninggalkan
orang-orang tercinta.
Semburat cahaya oranye merekah di
wajahku, menyilaukan mataku. Kota ini tidak pernah sepi, selalu menjajakan
apapun yang dicari. Langkah kakiku melaju tanpa ragu, ada sebuah janji tepatri
di sanubari kedua surgaku. Mereka menaruh harapan besar untuk kehidupanku,
merapalkan doa-doa baik untuk anaknya semoga lebih baik nasibnya. Tumpukan kertas
bertuliskan ragam topik hangat sekaligus menyayat kugenggam erat, tak ingin
terlepas apalagi terampas.
Jutaan pasang mata menyoroti
tubuhku penuh nafsu, seperti melihat mangsa yang sudah ditunggu lama. Mengelupas
seluruh kulit tubuhku tanpa malu-malu. Ketimpangan menyeruak minta dikoyak lalu
berganti dengan lapisan kain layak. Aku harus tetap pada pendirianku, menjunjung
tinggi harga diri sampai mati setidaknya itulah bekalku menghadap sang illahi.
Sebuah kata petuah seketika
terngiang di kepalaku, “Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.” Lamat-lamat
kucerna tiap maknanya, dengan hati meronta bertanya-tanya bagaimana bisa sesuatu
yang disebut ibu dapat melumat habis tiap inci harga diri hingga tak bersisa
untuk dibawa mati?
Terseok-seok langkah menari di
atas larutan inti bumi, menahan getirnya sisa-sisa harga diri. “Enggak
apa-apa, Rum. Kami juga melakukan hal yang sama kok,” seru wanita berkulit
sawo matang dengan gaun bertali satu. Kertas bersih dua tahun lalu kini
berganti baju, dipoles ayu dengan aneka warna baru. Pesan Ibu terasa menyayat
kalbu kala langkahku tanpa malu menggoda pria-pria takt ahu malu. “Ingat,
Nduk. Hati-hati di ibu kota. Ayah dan Ibu tidak ingin kau ternoda.”
Ragaku luruh, lidahku keluh
melayani tubuh penuh nafsu yang siap menerkamku. Netraku nanar menatap plafon
datar di atasku. Air mataku luruh menyatu dengan seluruh keringat di tubuhku. Pertunjukan
mala mini berakhir, ditutup dengan seorang pejabat tua tak tahu malu. Usianya serupa
dengan kakak tertua Ayahku. Aku bernapas lega, ingin segera menyongsong fajar
dengan udara segar melonggarkan sesak juga sepatu berhak.
Bak seorang model, aku berganti
baju kapanpun aku mau. Menaruh sisa-sisa dosa ke dalam kubangan sampah lalu berganti
wajah penuh ceria dan asa. Melakoni dua peran dalam satu wajah bukan pekara
mudah, kau harus siap-siap terluka juga terhina. Dunia hanya tahu kau penggoda sekaligus
pengejar cita-cita, mereka menghakimi, mereka memaki tanpa pernah memberi
solusi. Akankah Tuhan akan mengampuni? Entahlah, setidaknya Tuhan Maha Tahu apa
saja kebutuhanku.
Perubahan demi perubahan dalam
hidupku bagai seekor kupu-kupu, berawal dari ulat menjijikan yang menggantungkan
hidupnya pada daun terkungkung berhari-hari sebelum akhirnya dapat bebas
terbang kesana kemari. Seekor kupu-kupu yang akhirnya terbebas dari gelapnya
hidup, berharap masih ada kesempatan kedua untuk menebus segala dosa. Akhirnya empat
tahun kulewati tertatih dengan sisa-sisa napas setengah mati. Membawa kabar
bahagia untuk dibanggakan Ayah dan Ibu ke seluruh penjuru negeri.
Aku hanya kupu-kupu malang, sayapku
yang terkoyak disayat duri-duri ranting dahan pepohonan yang tak lagi rindang, menjadi
saksi perihnya alam bebas berduri.
Komentar
Posting Komentar