Tak Secantik Kupu-kupu

Juli 23, 2022
0 komentar

 

Pepohonan serta gedung kaca pencakar langit terlihat asing bagiku, netraku yang terbiasa memandang hamparan sawah, ternak berkeliaran juga air yang mengalir dari hulu ke hilir kini dipaksa untuk membiasakan diri menghirup udara penuh polusi. Yang kulihat di sini hanya wajah-wajah tak ramah penuh amarah juga rasa serakah. Berlumurkan tepung putih dengan perona merah muda dan bibir tipis terlapis pewarna yang tidak kalah menyala. Katanya, demi sebuah cita kita harus pergi ke kota, meninggalkan orang-orang tercinta.

Semburat cahaya oranye merekah di wajahku, menyilaukan mataku. Kota ini tidak pernah sepi, selalu menjajakan apapun yang dicari. Langkah kakiku melaju tanpa ragu, ada sebuah janji tepatri di sanubari kedua surgaku. Mereka menaruh harapan besar untuk kehidupanku, merapalkan doa-doa baik untuk anaknya semoga lebih baik nasibnya. Tumpukan kertas bertuliskan ragam topik hangat sekaligus menyayat kugenggam erat, tak ingin terlepas apalagi terampas.

Jutaan pasang mata menyoroti tubuhku penuh nafsu, seperti melihat mangsa yang sudah ditunggu lama. Mengelupas seluruh kulit tubuhku tanpa malu-malu. Ketimpangan menyeruak minta dikoyak lalu berganti dengan lapisan kain layak. Aku harus tetap pada pendirianku, menjunjung tinggi harga diri sampai mati setidaknya itulah bekalku menghadap sang illahi.

Sebuah kata petuah seketika terngiang di kepalaku, “Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri.” Lamat-lamat kucerna tiap maknanya, dengan hati meronta bertanya-tanya bagaimana bisa sesuatu yang disebut ibu dapat melumat habis tiap inci harga diri hingga tak bersisa untuk dibawa mati?

Terseok-seok langkah menari di atas larutan inti bumi, menahan getirnya sisa-sisa harga diri. “Enggak apa-apa, Rum. Kami juga melakukan hal yang sama kok,” seru wanita berkulit sawo matang dengan gaun bertali satu. Kertas bersih dua tahun lalu kini berganti baju, dipoles ayu dengan aneka warna baru. Pesan Ibu terasa menyayat kalbu kala langkahku tanpa malu menggoda pria-pria takt ahu malu. “Ingat, Nduk. Hati-hati di ibu kota. Ayah dan Ibu tidak ingin kau ternoda.”

Ragaku luruh, lidahku keluh melayani tubuh penuh nafsu yang siap menerkamku. Netraku nanar menatap plafon datar di atasku. Air mataku luruh menyatu dengan seluruh keringat di tubuhku. Pertunjukan mala mini berakhir, ditutup dengan seorang pejabat tua tak tahu malu. Usianya serupa dengan kakak tertua Ayahku. Aku bernapas lega, ingin segera menyongsong fajar dengan udara segar melonggarkan sesak juga sepatu berhak.

Bak seorang model, aku berganti baju kapanpun aku mau. Menaruh sisa-sisa dosa ke dalam kubangan sampah lalu berganti wajah penuh ceria dan asa. Melakoni dua peran dalam satu wajah bukan pekara mudah, kau harus siap-siap terluka juga terhina. Dunia hanya tahu kau penggoda sekaligus pengejar cita-cita, mereka menghakimi, mereka memaki tanpa pernah memberi solusi. Akankah Tuhan akan mengampuni? Entahlah, setidaknya Tuhan Maha Tahu apa saja kebutuhanku.

Perubahan demi perubahan dalam hidupku bagai seekor kupu-kupu, berawal dari ulat menjijikan yang menggantungkan hidupnya pada daun terkungkung berhari-hari sebelum akhirnya dapat bebas terbang kesana kemari. Seekor kupu-kupu yang akhirnya terbebas dari gelapnya hidup, berharap masih ada kesempatan kedua untuk menebus segala dosa. Akhirnya empat tahun kulewati tertatih dengan sisa-sisa napas setengah mati. Membawa kabar bahagia untuk dibanggakan Ayah dan Ibu ke seluruh penjuru negeri.

Aku hanya kupu-kupu malang, sayapku yang terkoyak disayat duri-duri ranting dahan pepohonan yang tak lagi rindang, menjadi saksi perihnya alam bebas berduri.

 

 

Komentar

Postingan Populer