Sujud Terakhir Ayah (Part 9)

Juli 06, 2022
0 komentar
Keadaan riuh tak terkendali, Hafiz yang baru sampai di depan kediamannya merasa cukup bingung. Orang-orang tampak berkerumun.

"Kasih jalan, kasih jalan! Biarkan Hafiz lewat," ucap salah satu tetangga dekat pak Mahmud.

"A... Ada apa ini?" tanya Hafiz.

"Masuk saja kamu, Hafiz, lihat keadaan ayah kamu." 

Dengan rasa was-was, Hafiz masuk perlahan, perasaannya tak karuan, dia berjalan menuju kamar Ayah dan Ibunya diikuti oleh seorang tetangga membawa air putih dan minyak urut. 

"Haa...Ha...Hafiz? Kamu sudah pulang, Nak?" tanya Mualimah dengan terbata. 

"Gimana kabar Ayah, Bu? Ayah sakit apa?"

"Ayah kalian hanya pingsan saja, tidak apa-apa," jawab Mualimah mencoba menenangkan.

"Enggak, Ayah enggak pingsan biasa, ternyata selama ini Ayah menderita penyakit jantung, Kak."

Mumtaz yang tak bisa menahan rasa sedihnya kini ikut bersuara, ia tahu ada yang tidak beres dengan kesehatan Ayah mereka, tetapi, selama ini tidak ada yang memberi tahunya. 

Kejadian tadi pagi di toko membuka semuanya, ternyata selama ini pak Mahmud mengidap jantung koroner. Penyakit yang disembunyikan selama dua tahun belakangan ini. Bukan tanpa alasan Mahmud menyembunyikan ini. Ia hanya tidak ingin membuat seluruh anggota keluarganya cemas, apalagi masih ada Yusuf yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. 

"Benar itu, Bu?" tanya Hafiz pada Mualimah-ibunya.

"Ibu juga tidak tahu apa-apa, Ayah kalian sengaja tidak memberitahu siapapun, Dia tidak ingin membuat kita cemas. Kalau bukan karena kejadian tadi pagi, Ibu juga enggak akan tahu soal ini. Jadi tolong, jangan desak Ibu untuk menjawab apapun, biar lah Ayah kalian istirahat," isak Mualimah. Saat ini, ia hanya ingin fokus pada kesehatan sang suami. 

Mahmud yang masih terbaring, sayup-sayup mendengar apa yang dibicarakan oleh keluarganya. Ada sedikit perasaan bersalah melihat kini seluruh keluarganya memperdebatkan keadaannya. Dia hanya ingin penyakitnya menjadi beban untuk orang lain. 

⭐⭐⭐

"Kak, aku mau ngomong sama Kak Hafiz," ucap Mumtaz yang datang dari arah dapur menuju ruang tengah di mana Hafiz sedang duduk mengerjakan beberapa pekerjaannya. 

"Kamu mau ngomong apa, Mumtaz? Katakanlah, Kakak akan mendengarkanmu," jawab Hafiz. 

"Apa yang sebenarnya terjadi minggu lalu? Saat Kakak dan Ayah pergi menghadiri acara keagamaan di desa sebelah?" 

"Sudah aku jelaskan pada Ibu, aku menghadiri undangan makan malam, saat aku mau mengajak Ayah, Ayah sudah pulang. Sudah itu saja," 

"Yakin? Bukannya Kakak yang sengaja tidak mengajak Ayah? Bahkan Kakak sengaja pura-pura tidak mengenal Ayah di sana? Sekarang aku tanya, apa Kakak tahu di mana posisi Ayah duduk? Apa Kakak tahu, dengan kendaraan apa Ayah pulang? Apa Kakak benar-benar mencari Ayah? Mengapa tidak menelpon Ayah jika tak melihat Ayah?" cecar Mumtaz dengan isak tangis. 

Dia sudah tak tahan lagi, hatinya ikut sesak melihat wajah sang Ayah yang lesu saat pulang dari acara tempo hari. Tepat setelah kejadian itu, Ayah tak lagi ceria, tak seperti biasa. 

Ibunya yang selalu membela Hafiz, padahal Ibu juga tahu kalau Ayah sedang tidak baik-baik saja. Namun, apa yang Ibu lakukan? Berusaha menengahi dan seolah menganggap apa yang dilakukan Hafiz adalah ketidaksengajaan. 

Wajah Hafiz berubah seketika menjadi pucat pasi. Ia bahkan tidak tahu harus menjawab apa karena semua yang dikatakan Mumtaz adalah kebenaran. Dia tidak mencari tahu keberadaan sang Ayah. Bahkan ia juga tidak tahu di mana Ayahnya duduk, apakah mendapat perlakuan istimewa juga kah seperti dirinya yang diagung-agungkan. Bahkan saat sampai di lokasi, benar adanya jika ia memang sengaja menjaga jarak dari sang Ayah. Ia malu memiliki seorang Ayah hanya penjual peralatan shalat, hanya penjual mukena dan sajadah dari  pasar pekan ke pasar pekan lainnya. Tidak seperti orang tua teman-temannya yang berprofesi sebagai guru, dosen, pengusaha, ustadz yang jelas lebih membanggakan. 

"Kenapa diam, Kak? Aku tahu, diantara kita bertiga, Kakak yang paling disayang Ibu, paling pintar, paling membanggakan keluarga, karena Kakak lulusan luar negeri, penerima beasiswa dan sekarang menjadi penceramah ternama," ucap Mumtaz masih dengan penuh amarah. 

Hafiz memilih beranjak pergi meninggalkan adiknya-Mumtaz dengan sejuta pertanyaan Mumtaz yang tak mampu ia jawab. 

Di balik pintu kamar Mahmud dan Mualimah, Mualimah menangis mendengar semua ungkapan Mumtaz, ia tak menyangka putri satu-satunya beranggapan demikian. Mualimah hanya menginginkan keluarganya baik-baik saja, meski di dalam hatinya ia juga merasakan semua yang diucapkan Mumtaz adalah fakta. Hafiz kini sering menolak untuk memperkenalkan keluarganya di hadapan jamaahnya ketika sedang mengisi acara pengajian. 

Dia merasa semua perbedaan itu terjadi setelah Hafiz kembali dari luar negeri. 

Apakah ini yang menyebabkan pak Mahmud seperti ini?

⭐⭐⭐






Komentar

Postingan Populer