AKM Berbasis Literasi & Numerasi, Berhasilkah Meningkatkan Pemahaman Membaca Siswa Indonesia?
Berangkat dari kegiatan belajar
mengajar di sekolah pada masa pandemi, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan mengubah Ujian Nasional menjadi AKM (Asessmen
Kompetensi Minimum) di mana hanya menggunakan dua kompetensi dasar sebagai tools
untuk mengetahui kemampuan siswa
dalam memahami bacaan, menyelesaikan masalah dan berpikir kritis.
Tepat
di tahun 2021, untuk pertama kalinya AKM ini dilakukan. Sesuai dengan
konsepnya, AKM ini bertujuan menjadi bahan
informasi bagi guru untuk menyiapkan metode, strategi dan perangkat
pembelajaran yang sesuai kebutuhan dan bisa menerapkan prinsip “Teaching at the right level” yaitu Pembelajaran
yang dirancang dengan memperhatikan tingkat capaian murid, yang nantinya akan
memudahkan murid menguasai konten atau kompetensi yang diharapkan pada suatu
mata pelajaran.
Disisi lain hal yang paling penting juga dengan adanya
AKM ialah mampu mempersiapkan murid untuk memiliki kecakapan abad 21. Kecakapan
itu yakni: keterampilan memecahkan masalah, berpikir kritis dan kreatif,
berkomunikasi dan juga berkolaborasi dengan baik.
Asesmen Kompetensi Minimum ini jelas berbeda
dari Ujian Nasional pada umunya. Pada AKM, siswa dihadapkan dengan soal yang
berkaitan dengan Literasi dan Numerasi saja. Literasi membaca diartikan sebagai
kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai
jenis teks tertulis guna mengembangkan kapasitas individu sebagai warga
Indonesia dan warga dunia serta untuk dapat berkontribusi secara produktif
kepada masyarakat. Sementara literasi matematika (numerasi) merupakan kemampuan
berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan
untuk individu sebagai bagian dari lingkungan sosial.
Saya sempat berpikir, mengapa literasi menjadi poin penting
pengambilan dan pengklasifikasian kemampuan siswa? Bahkan, pada Ujian Tulis
Berbasis Komputer (UTBK) sebagai syarat SBMPTN, terdapat tes khusus untuk
melihat kemampuan membaca calon mahasiswa yang tertuang dalam tes Pemahaman
Membaca dan Menulis.
Dan ternyata, pemahaman membaca pada siswa memang mengalami
penurunan selama pandemi, ini dibuktikan dari kemampuan salah seorang siswa saya
yang mengalami kesulitan dalam memahami konteks dan informasi yang terkandung
dalam teks atau artikel ilmiah. Ia hanya mampu membaca kalimat atau paragraf yang
tersaji, bukan memahami isi atau informasi yang dipaparkan. Seharusnya hal
seperti ini tidak lagi ditemukan pada siswa SMA mengingat penyusunan soal untuk
jenjang SMA wajib HOTS (Higher Order Thinking Skill).
Membaca sekadar membaca tidaklah sukar selagi kita mampu
menggabungkan huruf menjadi kata lalu menjadi kalimat. Tetapi membaca untuk
memperoleh suatu informasi yang bermanfaat adalah suatu kecakapan yang perlu
diusahakan. Kecakapan memahami apa yang dibaca tidak didapatkan dalam waktu
singkat, butuh waktu serta kemauan untuk terus belajar. Dalam pemahaman membaca
ini memerlukan daya pikir kritis serta ketelitian pembaca. Bukan tidak jarang
kita temui pembaca yang keliru memahami isi bacaan hanya karena ia belum mampu
memahami isi bacaannya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Faktor penyebabnya
beragam, bisa dari minat baca kurang, tidak menjadikan membaca sebagai
kebiasaan baik di rumah maupun di sekolah, kurangnya fasilitas pendukung untuk
membaca, karena kita ketahui banyaknya aplikasi membaca saja tidak akan
sepenuhnya terjangkau bagi seluruh masyarakat di Indonesia, dan yang terpenting
adalah minimnya pemahaman bahwa menulis dengan membaca adalah aspek yang saling
terikat. Sedikit pembaca banyak penulis, atau banyak penulis minim pembaca,
harusnya ini dapat berjalan beriringan.
Meskipun saat ini sudah sangat banyak sekali seminar
bahkan program-program literasi hadir sebagai solusi memajukan kemampuan
literasi generasi muda, tidak akan berjalan lurus jika tidak dibarengi dengan
kemauan serta kesadaran dari diri sendiri sejak dini dengan menjadikan kegiatan
membaca sebagai kebiasaan. Dari sisi pendidik yang setiap hari berjibaku dengan
buku, sudah menjadi keharusan setiap sekolah memberikan wadah yang nyaman untuk
para siswa membaca buku dengan menghadirkan buku-buku berkualitas lagi relevan
dengan usia peserta didik. Dengan menghadirkan buku-buku relevan dengan usia
mereka, minat membaca pasti akan bertambah dengan sendirinya. Karena begini,
jika AKM telah resmi dijadikan patokan bagi guru untuk mengetahui mutu dan
hasil belajar siswa, sudah seharusnya pula sekolah ataupun pemerintah menyiapkan
wadahnya guna pemerataan kemampuan siswa di bidang literasi, juga berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan literasi perlahan diperkenalkan kepada siswa agar
hasil yang didapat maksimal dan peningkatan kualitas terlihat.
Sebaliknya, jika AKM dijadikan tools mutlak untuk
melihat kemampuan dan hasil belajar siswa namun, tidak dibarengi dengan kegiatan
yang mendukung kecakapan literasi, akankah hasil kompetensi dapat terealisasi?
Referensi :
https://blog.kejarcita.id/berikut-7-hal-yang-harus-diketahui-mengenai-akm-nasional/
Aaahh tsrnyata aku baru tau kalau UN digantinya sama AKM ini. Keputusan yang tepat sih karena memang kadang soal UN itu sulit dipahami ketika dibaca. Alhasil hal itu memang harus dijadikan pembelajarsn melalui AKM supaya pelajar dapat memahami ketika membaca.
BalasHapuslebih tepatnya, kalau UN ini menggunakan semua pelajaran sebagai soal ujian. jadi terasa kompleks. tapi, AKM ini juga sulit loh, karena untuk menangkap maksud dari sebuah konteks teks juga tidak gampang.
Hapus