AKM Berbasis Literasi & Numerasi, Berhasilkah Meningkatkan Pemahaman Membaca Siswa Indonesia?

Juli 09, 2022
2 komentar

 

Berangkat dari kegiatan belajar mengajar di sekolah pada masa pandemi, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah Ujian Nasional menjadi AKM (Asessmen Kompetensi Minimum) di mana hanya menggunakan dua kompetensi dasar sebagai tools untuk  mengetahui kemampuan siswa dalam memahami bacaan, menyelesaikan masalah dan berpikir kritis.

Tepat di tahun 2021, untuk pertama kalinya AKM ini dilakukan. Sesuai dengan konsepnya, AKM ini bertujuan menjadi bahan informasi bagi guru untuk menyiapkan metode, strategi dan perangkat pembelajaran yang sesuai kebutuhan dan bisa menerapkan prinsip “Teaching at the right level” yaitu Pembelajaran yang dirancang dengan memperhatikan tingkat capaian murid, yang nantinya akan memudahkan murid menguasai konten atau kompetensi yang diharapkan pada suatu mata pelajaran.


Disisi lain hal yang paling penting juga dengan adanya AKM ialah mampu mempersiapkan murid untuk memiliki kecakapan abad 21. Kecakapan itu yakni:  keterampilan memecahkan masalah, berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi dan juga berkolaborasi dengan baik.


Asesmen Kompetensi Minimum ini jelas berbeda dari Ujian Nasional pada umunya. Pada AKM, siswa dihadapkan dengan soal yang berkaitan dengan Literasi dan Numerasi saja. Literasi membaca diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks tertulis guna mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia serta untuk dapat berkontribusi secara produktif kepada masyarakat. Sementara literasi matematika (numerasi) merupakan kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai bagian dari lingkungan sosial.

Saya sempat berpikir, mengapa literasi menjadi poin penting pengambilan dan pengklasifikasian kemampuan siswa? Bahkan, pada Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sebagai syarat SBMPTN, terdapat tes khusus untuk melihat kemampuan membaca calon mahasiswa yang tertuang dalam tes Pemahaman Membaca dan Menulis.

Dan ternyata, pemahaman membaca pada siswa memang mengalami penurunan selama pandemi, ini dibuktikan dari kemampuan salah seorang siswa saya yang mengalami kesulitan dalam memahami konteks dan informasi yang terkandung dalam teks atau artikel ilmiah. Ia hanya mampu membaca kalimat atau paragraf yang tersaji, bukan memahami isi atau informasi yang dipaparkan. Seharusnya hal seperti ini tidak lagi ditemukan pada siswa SMA mengingat penyusunan soal untuk jenjang SMA wajib HOTS (Higher Order Thinking Skill).

Membaca sekadar membaca tidaklah sukar selagi kita mampu menggabungkan huruf menjadi kata lalu menjadi kalimat. Tetapi membaca untuk memperoleh suatu informasi yang bermanfaat adalah suatu kecakapan yang perlu diusahakan. Kecakapan memahami apa yang dibaca tidak didapatkan dalam waktu singkat, butuh waktu serta kemauan untuk terus belajar. Dalam pemahaman membaca ini memerlukan daya pikir kritis serta ketelitian pembaca. Bukan tidak jarang kita temui pembaca yang keliru memahami isi bacaan hanya karena ia belum mampu memahami isi bacaannya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Faktor penyebabnya beragam, bisa dari minat baca kurang, tidak menjadikan membaca sebagai kebiasaan baik di rumah maupun di sekolah, kurangnya fasilitas pendukung untuk membaca, karena kita ketahui banyaknya aplikasi membaca saja tidak akan sepenuhnya terjangkau bagi seluruh masyarakat di Indonesia, dan yang terpenting adalah minimnya pemahaman bahwa menulis dengan membaca adalah aspek yang saling terikat. Sedikit pembaca banyak penulis, atau banyak penulis minim pembaca, harusnya ini dapat berjalan beriringan.

Meskipun saat ini sudah sangat banyak sekali seminar bahkan program-program literasi hadir sebagai solusi memajukan kemampuan literasi generasi muda, tidak akan berjalan lurus jika tidak dibarengi dengan kemauan serta kesadaran dari diri sendiri sejak dini dengan menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan. Dari sisi pendidik yang setiap hari berjibaku dengan buku, sudah menjadi keharusan setiap sekolah memberikan wadah yang nyaman untuk para siswa membaca buku dengan menghadirkan buku-buku berkualitas lagi relevan dengan usia peserta didik. Dengan menghadirkan buku-buku relevan dengan usia mereka, minat membaca pasti akan bertambah dengan sendirinya. Karena begini, jika AKM telah resmi dijadikan patokan bagi guru untuk mengetahui mutu dan hasil belajar siswa, sudah seharusnya pula sekolah ataupun pemerintah menyiapkan wadahnya guna pemerataan kemampuan siswa di bidang literasi, juga berbagai kegiatan yang berkaitan dengan literasi perlahan diperkenalkan kepada siswa agar hasil yang didapat maksimal dan peningkatan kualitas terlihat.

Sebaliknya, jika AKM dijadikan tools mutlak untuk melihat kemampuan dan hasil belajar siswa namun, tidak dibarengi dengan kegiatan yang mendukung kecakapan literasi, akankah hasil kompetensi dapat terealisasi?   

Referensi :

https://blog.kejarcita.id/berikut-7-hal-yang-harus-diketahui-mengenai-akm-nasional/

Komentar

  1. Aaahh tsrnyata aku baru tau kalau UN digantinya sama AKM ini. Keputusan yang tepat sih karena memang kadang soal UN itu sulit dipahami ketika dibaca. Alhasil hal itu memang harus dijadikan pembelajarsn melalui AKM supaya pelajar dapat memahami ketika membaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. lebih tepatnya, kalau UN ini menggunakan semua pelajaran sebagai soal ujian. jadi terasa kompleks. tapi, AKM ini juga sulit loh, karena untuk menangkap maksud dari sebuah konteks teks juga tidak gampang.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer