Rumah Kosong

Juli 24, 2022
2 komentar

 

Aku tinggal di sebuah desa dengan penduduk yang cukup padat. Rumahku terletak di sudut gang, bercat biru dengan pagar batu setinggi dada orang dewasa. Kata Ibuku, rumah kami sengaja dipasang tembok seperti itu agar kami para penghuninya merasa aman. Setidaknya itu lah benteng pertama yang kami siapkan.

Dari mulut gang sampai ke rumahku, banyak sekali pola rumah-rumah tetangga di kanan dan kiri. Ada yang mengusung konsep minimalis agar lebih tertata rapi, ada rumah dengan hiasan dinding di sana-sini, dan ada pula rumah kecil dengan jumlah penghuni yang tak dapat dihitung jari, entah berapa anggota sebenarnya dalam rumah itu, aku tak tahu. Yang jelas setiap hari ada saja orang baru yang datang dan pergi dari sana, keluar masuk silih berganti. Apa mereka tidak risih?

Ibuku pernah bilang, “Rumah adalah pusat berkumpulnya anggota inti dalam keluarga, tempat inti untuk memutuskan serta mendiskusikan hal-hal apa saja yang kita serap dan dapatkan dari luar sana. Rumah lah tempat kita memikirkan ulang baik atau buruk suatu permasalahan.”

Maka dari itu, aku tidak akan pernah membiarkan siapapun masuk ke rumahku tanpa seizinku, aku harus tahu dengan jelas, apa maksud dan tujuannya, apakah membawa dampak baik atau sebaliknya.

Namun, dari sekian banyak rumah tetangga, ada satu rumah yang selalu menarik perhatianku. Sebuah rumah berjarak lima puluh meter sebelum menuju rumahku. Sebuah rumah kosong seperti tak berpenghuni, tetapi sesekali aku melihat ada seseorang yang keluar masuk dari sana. Aku semakin penasaran, tatkala siang itu tak sengaja aku melintas di depan sana. Kulihat sepasang mata sedang melakukan aktivitas biasa, ia sedang memotong rumput di pekarangan rumahnya. Akan tetapi, ada yang berbeda, rumput yang ia potong bukannya menghasilkan ukiran yang rapi justru sebaliknya. Semrawut!

Kuperhatikan lebih dalam dengan mengendap-endap, sosok di depanku bukanlah seorang lansia apalagi bujang tua, dia adalah seorang wanita muda dengan paras ayu mempesona. Lantas, untuk memotong rumput saja masa ia tak tahu?

Saat itu aku lebih memilih berlalu daripada terus-menerus menguntit kegiatannya. Keesokan harinya Ibuku memintaku untuk menata beberapa furniture di dalam rumah. Ibu memintaku merapikan beberapa barang yang tidak penting, membuangnya atau diberikan kepada yang berhak saja. Ibu bilang, “Sesuatu yang kita berikan kepada orang lain, sejatinya akan mengakar kuat untuk kita.” Sungguh aku tidak begitu mengerti arti perkataan Ibu, bagaimana mungkin sesuatu yang telah kita beri justru akan mengakar kuat untuk diri kita sendiri?

Aku menuruti perkataan Ibu, membersihkan beberapa barang yang sudah usang untuk dirubah dengan yang baru, mengupgrade barang agar fungsinya lebih maksimal. Tak lupa juga Ibu memintaku meletakkan beberapa hiasan dinding berupa kata-kata mutiara agar menjadi pengingat bagi para penghuninya.

Saat sedang asik membersihkan rumah milik kami, mataku kembali terusik dengan rumah kosong milik tetanggaku itu. Kalau dilihat-lihat, rumahnya lumayan besar, dibanding dengan rumah kami, rumah kosong itu jauh lebih besar. Tapi mengapa seolah kusam, seperti tidak berfungsi dengan semestinya? Malah rumah kosong itulah yang terbesar diantara rumah di gang ini.

Sepuluh tahun berlalu, rumah kami tetap tegak berdiri, kokoh bahkan semakin kharismatik dengan seluruh pesona yang terpancar dari dalam, rumah – rumah lain juga begitu, ada yang bertambah megah karena aura serta kebiasaan penghuni di dalamnya. Ada juga yabg semakin rapuh, runtuh dimakan waktu. Perlahan cat dindingnya mengelupas karena tidak pernah dirawat setiap saat. Mereka malah sibuk merawat lainnya. Menghabiskan uang percuma untuk foya-foya atau sekadar membeli baju baru untuk bergaya. Aku setuju dengan pola pikir Ayah dan Ibu, mereka selalu mengutamakan kami anak-anaknya juga rumah kami, mereka senantiasa merawatnya, memberikan perhatian penuh agar apapun interior di dalamnya tetap utuh. Lalu? Bagaimana kabar rumah kosong itu? Rumah itu semakin tidak tersentuh, ia ada namun tak dipergunakan semestinya, ia ada namun hanya ornamen penting kehidupan saja untuk sekadar dianggap ada meski jarang sekali diperlakukan selayaknya. Aku jadi ingat pesan terakhir almarhum Ibuku.

“Nak, harta benda dunia tak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah ilmu. Ilmu yang kita miliki senantiasa mendampingi kita, ilmu bermanfaat yang kita miliki akan menemani kita hingga ke surga, ilmu yang berguna baik orang lain akan membuat kita dikenang sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Sebaliknya, manusia tanpa ilmu ibarat rumah kosong yang cepat atau lambat akan ditinggalkan, rumah kosong yang perlahan akan lapuk, terlihat kumuh kalau tidak dirawat dengan baik. Maka, rawatlah rumahmu, meski tidak megah dan mewah setidaknya ada keluarga yang akan betah di dalamnya.”

Komentar

  1. Rumah adalah cerminan orang yang tinggal di dalamnya. Namun, kadang-kadang kita juga enggak bisa menilai seseorang dari rumahnya karena nyatanya banyak rumah megah dan mewah, tetapi hancur pertahanan keluarganya. Ada rumah yang sederhana dan kecil, tetapi pertahanan keluarganya kokoh. Kalau ini sih namnanya rhmah manipulatif bukan rumah kosong, xixi.

    Btw, ini Kak Siti pakai analogi luas, ya? Keren banget sih, di akhir juga dijelasin pakai quote yang langsung merangkum semua analogi di sini.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer