Monolog Sutardjo Sigit "Serangan 1947 dari Balik Angkasa"
Setelah perundingan Linggarjati
antara Belanda dan Indonesia, Aku bertemu sahabatku di Maguwo, Mul, Har, Dji. Sudah
sejak lama aku ingin menjadi penerbang, melewati awan dan memandang kamu dari atas
sana. “Kamu ingin terbang?” tanya Asih kekasihku, “Ya, Aku ingin sekali
terbang. Lihat betapa hebatnya jika Aku bisa terbang, akan kubawakan awan
untukmu.” Lalu kamu bertanya lagi “Apa
kamu tidak takut jatuh?” Kau sudah tahu apa jawabannya, dialog sederhana yang
tercipta di pinggir pantai Kretek.
Hari itu sesuai dengan mimpiku, akhirnya
Aku terbang. Menikmati awan yang aku lewati satu per satu. Sayang, tak lama si
Moncong Merah menghantam tubuh pesawatku dan aku pun terjatuh. Masih untung
nyawaku tidak melayang, Asih. Rupanya Belanda berdusta, mereka ingkar janji. Ucapan
Marsekal TNI Soerjadi Soerjadarma ada benarnya, “Tidak ada gunanya membuat
perjanjian dengan musuh.”
Kami semua diminta untuk
mempersiapkan pesawat bayangan dari bambu, Asih. Itu perintah Marsekal Muda
Agustinus Adisoetjipto pada kami para kadet. Aku masih ingat betul bagaimana
wajah Adji penuh dengan kecewa, dia bersikeras untuk dapat terbang membela
negara tercinta bukan menjadi pesuruh untuk mencari bambu di hutan. “Menangis
orang tua kita di rumah, Git. Mereka mengira kita dilatih untuk menerbangkan
pesawat.” Kata-kata Bambang Saptoadji masih terngiang di kepalaku.
Mulyono dan Suharnoko Harbani
bersikeras menentang rencana Adji. Aku yang mengkhawatirkanmu memilih untuk
mengikuti keinginannya. Bukankah aku tahu betul apa yang dicari Adji? Ya. Tempat
yang dituju Adji adalah tempat bersejarah bagi kita. Sore itu aku melihat
sebuah pesawat milik tentara Jepang jatuh mengarah ke anak sungai. Belasan purnama
aku mencarinya akhirnya kutemukan sepaket dengan kutemukan pemilik hatiku.
Mengendap-endap Aku, Adji, Mas Tardjo
dan Dul sebagai mekanik mengambil komponen penting agar Pangeran Diponegoro
dapat kembali terbang. Dibalik kecemasanku memikirkan keadaanmu, konon, tersiar
kabar bahwa daerah tempat tinggalmu sudah dikepung Belanda, seluruh warga harus
segera mengungsi. Aku mencarimu, Asih. Kegundahanku membuncah saat aku
menemukan gundukan mayat tanpa dosa dihabisi Belanda. Aku belum menemukanmu.
Usaha kami tidak sia-sia,
dinginnya air di anak sungai itu tak mampu menghentikan langkah kami, sebelum matahari
menyisakan semburat senja, kami sudah harus sampai di Maguwo. Keberadaan kami
diketahui oleh Pak Tjip, Dik, sebab kepulangan kami istimewa, kami diantar oleh
pengawal khusus Jenderal Besar Sudirman yang sedang bertugas menyisir rakyat untuk
dibawa ke pengungsian. Jelas kelancangan kami menyebabkan masalah baru untuk Aku
dan teman-teman sesama kadet. Kamu tahu, Asih, kami dilarang untuk terbang
sampai masa pendidikan kami berakhir, pupus sudah harapan Adji, sahabatku.
Malam Mas Kardi memerintahkan
kami para kadet untuk segera memindah pesawat-pesawat yang disembunyikan di
hutan ke sisi landasan, kecuali pesawat Pangeran Diponegoro. Keberadaanya tersimpan
rapi. Namun sayang, persembunyian Pang-Dip tak berjalan lama, Dik. Ada penyusup
dari bangsa sendiri. Pang-Dip akhirnya hangus terbakar menjadi puing-puing
bersejarah juga dengan lima belas rekan kadet yang lain. Belanda melakukan
serangannya siang itu.
Maguwo hancur, Asih, bersama
dengan seluruh pesawat yang sudah dipersiapkan untuk terbang melawan Belanda. Akan
tetapi tidak dengan kisah kita. Ternyata Kamu selamat dari serangan Belanda di
kampungmu, kita bertemu di Maguwo. Aku senang sekali Asih, mendapatimu selamat
dan kini berada di hadapanku, aku Bahagia.
Di sisa-sisa puing Maguwo yang
sudah hancur, Aku serta para kadet yang masih bernyawa dihadapkan oleh dua
pilihan, Dik. Aku tahu kau tidak ingin aku terluka, mati konyol melawan Belanda
tanpa aba-aba. Aku memutuskan ikut berperang melakukan serangan balasan atas
komando dari Halim Perdanakusuma. Meski nyawa taruhannya, dan kau tidak rela, Dik.
Ini pilihanku, aku ingin mati untuk negeri, aku ingin mati yang dikenang
sebagai pahlawan.
Sumber : Google
Sebelum subuh, sesuai rencana,
kami harus pergi menyerang tiga titik penting Belanda di Salatiga. Akhirnya Aku,
Mas Tardjo, Mul, Har, Kaput, dan Dul terbang,
Dik. Dengan tiga pesawat tersisa meski tidak sempurna untuk dibawa menyerang,
kami yakin, kami akan pulang sebelum matahari terbit, Dik. Akan kami hanguskan
markas mereka, membuatnya tidak berkutik.
Sesuai janjiku padamu, Asih. Aku kembali.
Aku dan lima sahabatku kembali, bukankah ini adalah bagian dari doamu untukku? 29
Juli 1947 menjadi saksi berhasilnya serangan udara pertama Angkatan Udara Republik
Indonesia.
Kereeen bangeet. Kalo SDH baca artikel tentang sejarah dan perjuangan jiwa ku sangat tergugah, apalagi sebentar lagi hari raya kemerdekaan yaa, momen yg pas. Merdeekaa.
BalasHapusMasih belajar, Kak. Terima kasih sudah membaca ☺️
Hapus