Monolog Sutardjo Sigit "Serangan 1947 dari Balik Angkasa"

Juli 22, 2022
2 komentar

 

Sumber : Google 

Setelah perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia, Aku bertemu sahabatku di Maguwo, Mul, Har, Dji. Sudah sejak lama aku ingin menjadi penerbang, melewati awan dan memandang kamu dari atas sana. “Kamu ingin terbang?” tanya Asih kekasihku, “Ya, Aku ingin sekali terbang. Lihat betapa hebatnya jika Aku bisa terbang, akan kubawakan awan untukmu.” Lalu  kamu bertanya lagi “Apa kamu tidak takut jatuh?” Kau sudah tahu apa jawabannya, dialog sederhana yang tercipta di pinggir pantai Kretek.

Hari itu sesuai dengan mimpiku, akhirnya Aku terbang. Menikmati awan yang aku lewati satu per satu. Sayang, tak lama si Moncong Merah menghantam tubuh pesawatku dan aku pun terjatuh. Masih untung nyawaku tidak melayang, Asih. Rupanya Belanda berdusta, mereka ingkar janji. Ucapan Marsekal TNI Soerjadi Soerjadarma ada benarnya, “Tidak ada gunanya membuat perjanjian dengan musuh.”

Kami semua diminta untuk mempersiapkan pesawat bayangan dari bambu, Asih. Itu perintah Marsekal Muda Agustinus Adisoetjipto pada kami para kadet. Aku masih ingat betul bagaimana wajah Adji penuh dengan kecewa, dia bersikeras untuk dapat terbang membela negara tercinta bukan menjadi pesuruh untuk mencari bambu di hutan. “Menangis orang tua kita di rumah, Git. Mereka mengira kita dilatih untuk menerbangkan pesawat.” Kata-kata Bambang Saptoadji masih terngiang di kepalaku.

Mulyono dan Suharnoko Harbani bersikeras menentang rencana Adji. Aku yang mengkhawatirkanmu memilih untuk mengikuti keinginannya. Bukankah aku tahu betul apa yang dicari Adji? Ya. Tempat yang dituju Adji adalah tempat bersejarah bagi kita. Sore itu aku melihat sebuah pesawat milik tentara Jepang jatuh mengarah ke anak sungai. Belasan purnama aku mencarinya akhirnya kutemukan sepaket dengan kutemukan pemilik hatiku.

Mengendap-endap Aku, Adji, Mas Tardjo dan Dul sebagai mekanik mengambil komponen penting agar Pangeran Diponegoro dapat kembali terbang. Dibalik kecemasanku memikirkan keadaanmu, konon, tersiar kabar bahwa daerah tempat tinggalmu sudah dikepung Belanda, seluruh warga harus segera mengungsi. Aku mencarimu, Asih. Kegundahanku membuncah saat aku menemukan gundukan mayat tanpa dosa dihabisi Belanda. Aku belum menemukanmu.

Usaha kami tidak sia-sia, dinginnya air di anak sungai itu tak mampu menghentikan langkah kami, sebelum matahari menyisakan semburat senja, kami sudah harus sampai di Maguwo. Keberadaan kami diketahui oleh Pak Tjip, Dik, sebab kepulangan kami istimewa, kami diantar oleh pengawal khusus Jenderal Besar Sudirman yang sedang bertugas menyisir rakyat untuk dibawa ke pengungsian. Jelas kelancangan kami menyebabkan masalah baru untuk Aku dan teman-teman sesama kadet. Kamu tahu, Asih, kami dilarang untuk terbang sampai masa pendidikan kami berakhir, pupus sudah harapan Adji, sahabatku.

Malam Mas Kardi memerintahkan kami para kadet untuk segera memindah pesawat-pesawat yang disembunyikan di hutan ke sisi landasan, kecuali pesawat Pangeran Diponegoro. Keberadaanya tersimpan rapi. Namun sayang, persembunyian Pang-Dip tak berjalan lama, Dik. Ada penyusup dari bangsa sendiri. Pang-Dip akhirnya hangus terbakar menjadi puing-puing bersejarah juga dengan lima belas rekan kadet yang lain. Belanda melakukan serangannya siang itu.

Maguwo hancur, Asih, bersama dengan seluruh pesawat yang sudah dipersiapkan untuk terbang melawan Belanda. Akan tetapi tidak dengan kisah kita. Ternyata Kamu selamat dari serangan Belanda di kampungmu, kita bertemu di Maguwo. Aku senang sekali Asih, mendapatimu selamat dan kini berada di hadapanku, aku Bahagia.

Di sisa-sisa puing Maguwo yang sudah hancur, Aku serta para kadet yang masih bernyawa dihadapkan oleh dua pilihan, Dik. Aku tahu kau tidak ingin aku terluka, mati konyol melawan Belanda tanpa aba-aba. Aku memutuskan ikut berperang melakukan serangan balasan atas komando dari Halim Perdanakusuma. Meski nyawa taruhannya, dan kau tidak rela, Dik. Ini pilihanku, aku ingin mati untuk negeri, aku ingin mati yang dikenang sebagai pahlawan.

Sumber : Google 

Sebelum subuh, sesuai rencana, kami harus pergi menyerang tiga titik penting Belanda di Salatiga. Akhirnya Aku, Mas Tardjo, Mul, Har, Kaput, dan Dul  terbang, Dik. Dengan tiga pesawat tersisa meski tidak sempurna untuk dibawa menyerang, kami yakin, kami akan pulang sebelum matahari terbit, Dik. Akan kami hanguskan markas mereka, membuatnya tidak berkutik.

Sesuai janjiku padamu, Asih. Aku kembali. Aku dan lima sahabatku kembali, bukankah ini adalah bagian dari doamu untukku? 29 Juli 1947 menjadi saksi berhasilnya serangan udara pertama Angkatan Udara Republik Indonesia.  

 

Komentar

  1. Kereeen bangeet. Kalo SDH baca artikel tentang sejarah dan perjuangan jiwa ku sangat tergugah, apalagi sebentar lagi hari raya kemerdekaan yaa, momen yg pas. Merdeekaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih belajar, Kak. Terima kasih sudah membaca ☺️

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer