Dark Desire - Chapter Three
Dark Desire – Chapter Three
Cuaca Jakarta sore itu sangat
indah, lengkungan mentari yang beranjak perlahan menuju ufuk barat terlihat
jelas. Warna jingga terpancar terang bersatu dengan beberapa awan berbentuk
aneka rupa.
Sepanjang jalan, Rini terus
memamerkan senyum manisnya, berusaha untuk menjadi pribadi yang menyenangkan,
ramah dan penuh kelembutan hati demi penyamaran sempurna. Jelas, sikap ini
berbanding terbalik dengan watak asli Rini. Ia selalu terlihat jutek, cuek,
acuh dan sering meremehkan orang lain kini harus berubah 360 derajat demi
menjalankan misinya, menjadi istri lelaki idamannya.
“Wanita itu sudah aku
bereskan. Jangan lupa bagianku.”
Pesan singkat dari Anton dibaca oleh
Rini dengan wajah puas, semakin melebarkan senyumnya, membuat rona merah di
pipi.
“Thanks. Good job.” Rini
membalas pesan itu kemudian. Gegas Anton mengirim semua data pribadi Rana untuk
Rini gunakan dalam penyamarannya, termasuk nomor Andre dan data penting
lainnya.
***
Tepat pukul lima sore, Rini
melenggang dengan penuh percaya diri menuju kantor almarhum Papanya di mana
Andre kini berada. Merubah 360 derajat penampilannya, membuat ia leluasa masuk
ke dalam perusahaan itu tanpa perlu susah payah. Seluruh karyawan perusahaan
menyambut kedatangan Rini dengan hormat. Membiarkan ia berjalan menemui Andre
di ruangannya.
“Hai Sayang … kerjaan kamu sudah
beres?” sapa Rini yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan Andre.
Andre kaget dan menoleh ke arah sumber
suara, dilihatnya Rini yang tentu saja dalam penglihatan Andre adalah Rana.
Andre sendiri belum pernah bertemu Rini, tidak juga pernah melihat wajahnya
meski lewat foto. Dia juga tidak tahu jika saudari kembar istrinya sedang di
Jakarta, lebih tepatnya berdiri tepat di depan mata.
“Sayang, kenapa kamu enggak
bilang kalau sudah selesai? Aku bisa jemput kamu, lho,” jawab Andre. Ada yang
berbeda pada istrinya sore ini, “Bukannya tadi pagi Rana memakai dress biru
muda? Kenapa berubah jadi merah muda? Rana tidak begitu suka warna ini.” Andre
berbisik dalam hati sambil terus memperhatikan wanita cantik di depannya. Pesona
Rana dan Rini terbukti ampuh memikat siapapun yang memandang.
“Umm … aku enggak mau ngerepotin
kamu, kebetulan aku lewat sini. “
Rini leluasa sekali masuk dan mendekati
Andre. Dia yakin Andre tidak akan curiga dengan penyamarannya. Tanpa membuang
banyak waktu, kesempatan ini Rini pergunakan sebaik mungkin, ia sudah tidak
sabar untuk merasakan hangatnya dicintai seorang pria, diperlakukan bagai ratu
dalam kerajaan bernama rumah tangga. Tangan Rini kini menggandeng pergelangan
Andre yang masih duduk di depan meja kerjanya.
“Dinner di luar, yuk!” ajak Rini
pada suami barunya.
“Boleh. Kamu mau Dinner di mana,
Sayang?” tanya Andre sambil menatap lekat ke wajah Rini. Benar-benar tidak ada
yang berbeda dengan wajah Rana. Untuk lelaki asing seperti Andre yang baru seumur
jagung mengenal dan hidup bersama Rana, melihat Rini sebagai Rana, Andre berhasil ditipu.
Sesekali, kecupan lembut mendarat
di punggung tangan Rini, Rini yang dihujani rasa cinta merasakan kehangatan
tersendiri dalam dirinya. Ada desiran berbeda yang tidak pernah dirasa olehnya,
terlebih setelah perceraian Mama dan Papanya, Rini tidak lagi merasakan
kehangatan dari sosok pria dewasa.
Rini yang terbuai dalam alunan
rasa yang bergejolak di dalam dada kini merubah strateginya. Ia tidak ingin
kebahagiaan ini sementara. Ia ingin selamanya, selamanya menjadi istri Andre
atau bahkan menjadi ibu dari anak-anaknya.
***
Sebuah mobil sport seharga lima
ratusan juga bewarna hitam mengkilat terparkir tepat di depan gedung kosmetik
nomor satu di Indonesia itu. Seorang lelaki telah bersiap di balik kemudi,
sedang menunggu targetnya keluar dari gedung tersebut.
“Permisi, Mbak Rana. Anda sudah
ditunggu supir Anda di parkiran lobby,” ujar seorang petugas keamanan.
“Oh-baik. Terima kasih banyak Pak
Mul.”
Rana bersiap dan segera beranjak
menuju parkiran lobby. Dilihatnya sebuah mobil terparkir di sana, sedikit pun
ia tidak merasa curiga, karena memang mobil tipe ini sering dipakai supir
pribadinya ataupun supir Andre untuk mengantarnya kemana saja.
Rana berjalan mendekat, membuka pegangan
pintu mobil dan masuk, duduk di kursi penumpang seperti biasa. Tanpa disadari,
seseorang telah menunggu tepat di belakangnya, bersiap menyergap dirinya, membekap
mulutnya dengan cairan sapu tangan beracun.
“A … to-to … lo-eum …,” teriak Rana
belum sempat menyempurnakan ucapannya, tubuhnya lemas menghirup cairan bius yang
ada di sapu tangan itu. Rana tidak sadarkan diri. Mobil melaju dengan cepat
menuju tempat persembunyian.
Mobil terparkir tepat di sebuah
rumah tua, dengan warna cat yang sudah kusam, juga ilalang yang menjalar, sebuah
rumah kosong di tengah hutan. Anak buah Anton membawa tubuh Rana masuk. Membaringkannya
di sebuah ranjang yang dibungkus seprai putih kusam, berukuran tiga kaki, khas
ranjang rumah sakit.
“Kita apakan lagi dia, Bos?”
tanya Daniel, salah satu anak buah Anton.
“Biarkan saja Dia. Biar aku yang
menjaganya.”
Semua anak buah Anton berlalu
pergi sesuai perintah. Rana yang masih terbaring di atas ranjang mulai
diperhatikan oleh Anton. Ia ingat betul, beberapa kali saat ia ingin
menjalankan aksi bejatnya, berakhir kandas dan putar haluan karena tak sengaja
bertemu dengan Rana. Lembutnya hati Rana mengalihkan dunia juga rencana jahat
Anton. Ia tidak pernah tega melakukan hal keji yang berkaitan dengan Rana, baik
itu perusahaan tempat Rana bekerja, rekan kerjanya, ataupun atasannya. Mereka harus
berterima kasih pada Rana, berkat dia Anton menggalkan misinya.
Berbeda dengan Rini, Rana
memiliki tempat khusus di hati Anton. Kenangan masa kecil mereka membekas
hingga sekarang, kebaikan – kebaikan Rana meluluhkan hatinya, usia mereka tidak
terpaut jauh, hanya berjarak empat tahun dari Rana dan Rini, Anton sendiri
adalah adik bungsu Sonya beda ibu satu ayah. Itu lah mengapa jarak usia Anton
dan Sonya yang terpaut sangat jauh.
Dalam keheningan, Anton memandang
wajah Rana dengan penuh cinta, sesekali membelai pipinya lembut. Anton mencintai
Rana sejak lama, rasa cinta tak sampai ini ia simpan sejak sepuluh tahun lalu. Sayangnya,
rasa itu pupus tatkala untuk pertama kalinya Anton terjebak dalam limbah hitam
kehidupan, ia berpikir bahwa tidak akan mungkin Rana membalas cintanya, selain
kehidupannya yang bertolak belakang, status Rana dan Rani tetaplah keponakannya.
Anton memanfaatkan waktu yang
singkat ini, untuk sekadar mencurahkan rasa dalam dadanya. Sebelum nanti Rana
kembali sadar dan tahu bahwa yang menculiknya adalah Anton-pamannya.
Tubuh Rana mulai bergerak, ia
mulai siuman. Gegas Anton beranjak pergi dan memanggil anak buahnya kembali. Ia
tidak akan pernah tega menyakiti sang pujaan hati. Biarlah anak buahnya yang
menjalankan tugas ini.
Memilih kota kecil di Madiun juga rumah tua yang
berlokasi di tengah hutan, membuat Anton dan anak buahnya yakin Rana tidak akan
bisa kabur dari sini, butuh waktu 7 jam untuk sampai di sini dari Jakarta. Toh,
Andre dan Rini pasti sedang bersenang-senang menikmati kebersaan mereka, Andre
juga tidak akan menyadari jika wanita yang ada bersamanya bukanlah Rana
melainkan Rini.
“Tolong … tolong … saya diculik
tolong …,” teriak Rana sekuat tenaga.
“Heh! Diam kamu! Berisik,”
perintah Daniel.
“Ka-kamu siapa? Kenapa aku ada di
sini?" tanya Rana dengan wajah takut, Rana mundur menempelkan dirinya ke tembok,
berdiri tepat di sudut kamar itu dengan tubuh bergetar.
“Ha-ha-ha … kamu tidak perlu tahu
siapa kami dan di mana kamu sekarang, cantik,” ucap salah seorang lainnya,
mendekat perlahan dan mencoba menyentuh wajah Rana yang kini basah oleh
keringatnya. Ia benar-benar ketakutan.
“Stop. Kamu jangan
coba-coba menyentuhnya! Bos bisa marah sama kamu.”
Setelah puas membuat Rana
bergidik ngeri, Daniel dan temannya berlalu pergi meninggalkan kamar tempat
Rana akan bermalam. Mereka hanya diperbolehkan mengunjungi Rana untuk
mengantarkan makanan, minuman dan baju ganti untuknya.
“Ya Tuhan … di mana aku ini? Mengapa
ada di sini? Bagaimana kabar Andre di sana? Apakah dia baik-baik saja? Apa ini
berkaitan dengan persaingan bisnis perusahaan Papa? Apa ini ada kaitannya dengan
kematian Papa juga? Tuhan … tolong lah aku,” lirih Rana yang terisak.
Satu jam lamanya ia meratapi
nasibnya, duduk tersungkur di sudut kamar. Menyadari ada seseorang yang
memperhatikannya dari jauh, Rana terbangun, segera ia bangkit untuk memastikan
siapa sosok itu. Perlahan ia berjalan menuju pintu, di ambang pintu kamar itu,
Rana memberanikan diri menengok keluar, mengedarkan pandangannya mengamati
sekeliling, berusaha mencari sosok misterius juga mencari celah agar ia bisa
segera keluar dari rumah itu.
“Si-siapa itu? Jangan beraninya
bersembunyi. Sini tunjukin wajamu!” teriak Rana penuh amarah. Rasa pusing di
kepalanya juga matanya yang memerah menjadi penyebab murkanya saat ini.
Sepucuk surat terlempar ke
arahnya, Rana berusaha mendekat ke arah sumber surat itu diberikan. Diambilnya surat
itu sambil perlahan mendekati sumber gerakan. Jantungnya berdegup kencang, Rana
seorang yang berhati lembut juga memiliki kelemahan, ia sangat takut sekali
dengan kegelapan, ia takut sekali dengan hal-hal yang dapat mencelakakan
dirinya. Langkah kakinya gemetar, sesekali ia melihat situasi di belakang, khawatir
seseorang datang dan membekapnya lagi.
Sampai di ruangan gelap lainnya,
Rana tidak melihat siapa pun di sini. Lantas, siapa yang melemparkan surat ini
untuknya?
Tak satu pun sosok ia jumpai,
Rana merasa aman sekarang. Dia yakin, tidak ada yang membahayakan dirinya untuk
saat ini, perlahan ia membuka surat berbentuk persegi panjang itu, ada sebuah surat di
dalamnya.
“Kamu tidak usah khawatir. Kamu akan baik-baik saja di sini. Justru kamu harus khawatir Ketika berada di luar rumah tua ini. Ada banyak sekali manusia-manusia sekarah penuh tipu daya yang akan menyakitimu, bahkan mungkin menghilangkan nyamamu seperti yang dialami oleh Adijaya Bratama-Papamu.”
Wahh, apa si Anton ini baik, Kak? Di surat itu aku kayak nangkep sebuah clue lain sihh.
BalasHapus50:50 manusia yang kita jumpa tidak sepenuhnya jahat juga tidak sepenuhnya baik, toh?😁
HapusHmmmm Rini oh Rini, sesusah apa sih cari cowok lain :(
BalasHapus