Dark Desire - Chapter Two
Dark Desire – Chapter Two
“Selamat pagi, Mbak. Ada yang
bisa dibantu?” ucap salah satu resepsionis perusahaan. Rana mengedarkan
pandangannya ke sekuruh perusahaan Papanya yang kian maju pesat sejak lima
tahun terakhir ini, itu lah kabar yang ia dapat dari Mamanya-Sonya.
“Saya ingin bertemu dengan Bapak
Bram Wijaya, kuasa hukum almarhum Adijaya Bratama,” jawab Rini.
“Baik, tunggu sebentar, Mba.”
Rini memilih untuk duduk di salah
satu sofa ruang tunggu perusahaan. Dari arah pintu masuk, Andre beserta
sekretarisnya-Dimas berjalan menuju lift. Rini tiba-tiba teringat ucapan
Mamanya, bahwa adik kembarnya-Rana telah menikah tiga bulan yang lalu dengan
seorang CEO perusahaan penerbitan mayor terbesar di Indonesia, Andre Kesuma. Sepintas
wajah lelaki yang barusan lewat mirip sekali dengan wajah suami sang adik yang sempat
ditunjukkan oleh Sonya. Benarkah itu Andre?
“Permisi, Mba. Silakan ikut saya
menuju ruang Pak Bram. Mari,” ajak resepsionis pada Rini yang masih mematung di
sofa.
Sebenarnya Rini masih penasaran
dengan sosok Andre yang baru saja dilihatnya. Akan tetapi, ia memilih untuk
tidak menghiraukan dan tetap fokus pada tujuan awalnya. Mengambil hak
warisannya dan pulang. Awalnya Rini juga berencana hanya satu pekan saja di
Indonesia, lalu kembali ke London melanjutkan hidupnya dengan gelimang harta
warisan almarhum Papanya.
Letak ruangan Bram Wijaya yang
ternyata bersebelahan dengan ruangan Andre kini mencuri perhatiannya. Beberapa kali
ia mencuri pandang melihat wajah sang adik ipar baru. Wajah maskulin dengan tubuh
tinggi berkulit putih itu mengalihkan dua netra Rini, juga pikirannya. Maklum,
hingga usia menuju akhir kepala dua, Rini masih berstatus lajang, bukan ia
tidak ingin membina rumah tangga seperti adiknya, hanya saja ia ingin menikah
dengan lelaki Indonesia saja, penuh kharisma dan berwibawa khas orang
Indonesia. Dan sosok yang diinginkannya kini ada di depan matanya. Sayang,
sosok itu telah menjadi milik adiknya.
Namun, bukan Rini namanya jika
tidak mampu meraih apa yang ia inginkan, bukan?
***
“Silakan masuk, Mba. Pak Bram
sudah menunggu,” ucap wanita berparas ayu dengan blazer merah muda.
“Terima kasih,” balasnya.
“Halo, Om. Apa kabar? Sudah lama
sekali kita tidak bertemu, ya?” tutur Rini berusaha mencairkan suasana. Bram
Wijaya adalah salah satu orang kepercayaan Papanya, sekaligus menjadi kuasa
hukum pribadinya.
“Hai Rini, apa kabar kamu? Makin
cantik saja, terakhir Om ketemu kamu saat kamu masih berusia tujuh tahun, masih
berenang di kolam dengan bola air kesukaanmu,” jawab Bram menerima kedatangan
Rini pagi itu.
“Yah … well, begini lah
Om. I am good, my mother too, actually Aku sedih mendengar kabar
meninggalnya Papa. Kepergian tiba-tiba memang sangat menyedihkan ya, Om,” ucap
Rini mencoba berduka atas meninggalnya Adijaya, padahal sejak perceraian Mama
dan Papanya, Rini sudah tak pernah lagi bertemu bahkan berkomunikasi. Bagaimana
mungkin ikatan antara ayah dan anak masih tercipta. Rini hanya berbasa-basi.
“Papa kalian orang baik, orang
paling jujur dalam berbisnis, Om merasa ada yang sengaja ingin menjatuhkan
bisnisnya juga menghabisi nyawanya.”
Bram terlihat berpikir, guratan
wajah murungnya kembali kala mengingat kejadian yang menimpa sahabatnya itu. Persaingan
dalam dunia bisnis memang sering sekali terjadi.
“Now, how about our business,
Om? Can I?” tanya Rini yang memang tidak ingin berlama-lama mengenang
kepergian Adijaya. Bukan itu misinya kali ini.
“Ah-ya. Bentar, Om ambilkan
beberapa file dan berkasnya.”
Terlihat Bram sedang
mempersiapkan segala berkas yang diperlukan untuk membahas hak waris dengan
Rini. Untuk Rana? Ia sudah menyampaikannya sebulan lalu, tetapi Rana belum
ingin membahasnya, ia berkata “Om, makam Papa belum kering. Tidak pantas saya
membahas dan meminta hak waris atas saya.”
“Umm … Can I ask something?”
tanya Rini di sela kesibukan Bram mempersiapkan berkasnya.
“Yes, please, Dear.”
“Apa … lelaki yang sekarang
berada di ruangan Papa adalah suami, Rana?” tebak Rini.
Dahi Bram mengernyit, apakah Rini
memang tidak mengetahui jika adik kandungnya telah menikah? Bram tersenyum lalu
menjawab “Iya. Dia Andre Kesuma, Anak sulung pemilik penerbitan mayor terbesar
di Indonesia. Kamu sudah mengenalnya?”
Rini menggeleng, “Saya baru
bertemu denganya tadi pagi di lobby, Om.” Jawab Rini dengan mengalihkan pandangannya
dan menyentuh beberapa buku koleksi Bram yang tersusun rapi di ruangannya.
“Apa kamu dan Sonya tidak diberitahu
oleh Adijaya?” tanya Bram.
“Om lebih paham apa yang terjadi
antara Mama dan Papa. Dua puluh tahun lamanya, sejak perceraian mereka, Aku dan
Rana tidak pernah berkomunikasi, bahkan mungkin Mama tidak pernah berkomunikasi
dengan Rana, begitu sebaliknya. Sisi gelap Mama yang tidak kusukai adalah … Ia
mudah sekali jatuh hati dengan lelaki kaya raya, obsesinya juga tak biasa.”
Bram mengangguk paham. “Andre dan
Rana belum lama mengenal hingga akhirnya mereka memutuskan menikah. Dari yang
Om dengar, Rana memperkenalkan Andre pada Papa kalian di hari ulang tahun
kalian berdua. Kecocokan itu muncul, tanpa basa basi, Andre meminang Rana dan
menikah. Selama pernikahan Andre memperlakukan Rana dengan sangat baik, bahkan
saat Adijaya meninggal, Andre tidak pernah lepas dari sisi Rana. Sungguh beruntung
Rana memiliki Andre di sisa hidupnya pasca kepergian Adijaya,” tutur Bram
menjelaskan tiap detail perlakuan manis Andre untuk Rana.
***
Dua jam berlalu, segala urusan
hak waris yang diinginkan Rini telah selesai. Ia mendapatkan 40% harta Papanya,
Rana juga demikian dan sisanya disumbangkan kepada rumah singgah anak yatim
piatu yang berada tidak jauh dari rumah yang saat ini ditempati Rana dan
suaminya. Rumah singgah yang didirikan oleh Rana sepuluh tahun lalu.
Rini kembali menuju hotel tempat
ia menginap. Kekagumannya kepada sosok Andre semakin membuncah, Andre seperti
lelaki impian seluruh wanita di dunia. Tidak memiliki sedikit celah.
Pandangannya tajam menembus kaca
jendela kamar itu, sesekali ia memandangi benda pipih yang sedari tadi
dipegangnya. Seperti sedang menunggu sebuah panggilan dari seseorang.
Tidak lama, benda itu pun
berdering, terlihat sebuah nama yang memang sedang ia tunggu sejak tadi. Rini
tersenyum dan menjawab panggilan “Halo Anton. Kamu di mana? Aku perlu bicara. Temui
aku di café Rasa Desa di depan hotel Merpati. Aku tunggu kamu satu jam dari
sekarang.”
Panggilan berakhir. Kini senyum
tersungging di wajahnya. Ia terlihat berpikir dengan sesekali tersenyum di
depan cermin besar yang tersedia di kamar hotel.
“Kamu akan menjadi milikku,
tidak ada satu pun yang akan menghalangiku.” batin Rini dengan tetap
berlenggak-lenggok menyerupai seseorang yang sangat ia kenal.
***
“Ada apa kamu memanggilku? Sejak kapan
kamu di Indonesia?” tanya seorang pria dengan wajah persegi dengan bekas
jahitan di pelipis matanya.
Tepat satu jam sesuai dengan yang
Rini perintahkan, lelaki berambut gondrong yang kini duduk tepat di depannya
ternyata adalah Antonius, adik bungsu Sonya Adelia. Antonius adalah mafia kelas
kakap di Jakarta. Ratusan aksi kejahatan telah ia lakukan, mulai dari kejahatan
kelas teri hingga kelas pejabat selesai di tangannya. Siapa yang tidak mengenal
Antonius? Penjahat licin yang selalu berhasil keluar dari jeratan hukum.
“Aku mau kamu culik dia,”
perintah Rini dengan menunjukkan foto wanita.
“Ha-ha-ha … kamu yakin? Ingat,
bayaranku tidak murah, bahkan tak jarang nyawa taruhannya.”
“Tenang, kamu tahu ‘kan aku
anaknya siapa?” balas Rini dengan senyum sinisnya.
“Kapan aku harus menculiknya?”
tanya lelaki yang lebih dikenal dengan panggilan Anton itu.
“Sore ini. Aku ingin segera
menggantikan posisinya, merasakan rasanya dicintai lelaki impianku.”
***
Selepas pertemuannya dengan
Anton. Rini tidak kembali ke hotel, ia justru pergi ke pusat perbelanjaan,
membeli segala baju serta pernak pernik yang biasa dikenakan oleh saudari
kembarnya. Style feminim yang selalu terlihat di setiap postingan Rana menjadi
acuan Rini untuk membeli beberapa pakaian yang Rana miliki. Hari ini, ia akan menjelma
menjadi Rana, bukan lagi Rini Putri Adijaya.
Kesel bangett sama Rini T—T bibit-bibit pelakor sih ini mah, ada ya orang yang kayak begini.
BalasHapusBuanyaaaak..... Jaga jarak, jaga jarak
HapusKumenangiiissssssssss, membayangkankan betapa kejamanya Rini.
BalasHapusApa dari dulu suka nikung kali ya.
Hahaha... Kok gitu backsound-nya sih?
HapusDefinisi perempuan savage ya Rini 😁
BalasHapus🤭
Hapus