SUJUD TERAKHIR AYAH

Juni 01, 2022
3 komentar

 


SUJUD TERAKHIR AYAH


#cerbung #PART-1


 


“Assalamu’alaikum, Bu.” ucap Mahmud ketika masuk ke dalam sebuah rumah beratapkan rumbia.


“Wa’alaikumussalam, Yah. Sudah pulang?” tanya Mualimah menyambut sang suami dengan salam penuh takzim.


“Iya, Ustadz yang ceramah hari ini ada keperluan mendadak jadi tidak bisa mengisi ceramah, Bu. Jadi, selepas isya jamaah pada pulang.” Jawabnya.


Pak Mahmud, begitu orang-orang mengenalnya, seorang pedagang alat shalat di pasar pekanan setiap Senin dan Jumat, juga mengemban tugas sebagai anggota BKM di Mushollah Al-Mutawwatir di dekat kediamannya. Mahmud sering ditugaskan menjadi muadzin sekaligus bersih-bersih di musholla tersebut. Apa saja dilakoni Mahmud untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mengingat sang istri tengah hamil tua anak ketiga mereka, Mahmud semakin rajin bahkan tak jarang ikut membantu para tetangga menanam padi di sawah.Hitung- hitung hasil panen padi dapat digunakan Mahmud dan Istri untuk makan sehari-hari supaya tetap bisa menabung dari hasil jualan meski tidak banyak.


“Makan malam dulu kita, Yah. Ayah belum ada makan dari siang, lho!” ucap Mualimah


“Astagfirullah..iya, Bu, Ayah lupa belum makan dari tadi siang.” Seru Mahmud


“Ayah, sih.. sibuk kali mikirin acara di musholla, sampai lupa makan. Ibu cuma masak sayur kangkung direbus dan telur rebus, Yah. Minyak goreng kita habis, semuanya ibu rebus, enggak apa-apa kan, Yah?” ucap Mualimah dengan mata yang mulai berkaca-kaca, gegas ia palingkan wajah sendunya agar tidak semakin membebani sang suami.


“Wah…masyaa Allah itu, Bu. Malah semakin sehat kita makan makanan yang direbus, Ayah ridho, Bu, apapun yang Ibu masak pasti Ayah makan dengan lahap” tutur Mahmud yang kini menarik tangan sang Istri, membelai punggung tangannya dengan lembut.


Dalam berumah tangga, sepantasnya kita saling memaafkan, memaklumi keadaan pasangan, selalu berusaha memberi, membantu yang terbaik untuk pasangan, bukan sebaliknya. Keadaan rumah tangga dengan ekonomi sulit dilalui Mualimah dengan penuh rasa ikhlas, itu semua tidak lepas dari peran sang suami-Mahmud yang selalu berusaha membantu pekerjaan istri, memaklumi keadaan istri yang sering merasa lelah di masa kehamilan ini, Mahmud sering membantu pekerjaan istri di sela-sela kesibukannya mengurus musholla dan berjualan pekanan.


“Anak-anak sudah pada tidur, Bu?” tanya Mahmud dengan mengedarkan pandangannya mencari dua malaikat kecilnya- Hafidz dan Mumtaz.


“Sudah, Yah. Hafidz sudah tidur selepas shalat Isya dan mengerjakan PR sekolahnya. Kalau Mumtaz sejak Ba’da maghrib sudah tidur, Yah. Capek kali mereka setelah main di depan rumah tadi sore” jawab sang istri.


Hafidz Akbar berusia 8 tahun, anak lelaki pertama Mahmud dan Mualimah, sedang duduk di bangku sekolah dasar negeri yang tidak jauh dari rumah mereka. Mumtaz Rasyida berusia 4 tahun, anak perempuan Mahmud dan Mualimah, saat ini lebih banyak belajar membaca dan mengaji secara mandiri dengan Mualimah karena tidak memungkinkan memasukkannya ke TK A atau TK B mengingat kehidupan ekonomi mereka yang terbilang sulit. Dalam keadaan serbapas-pasan, Hafidz dan Mumtaz tumbuh dan berkembang dengan baik. Kendati asupan gizi yang dikonsumsi tidak selengkap anak-anak lain seusianya, tidak ada susu formula menjelang tidur dan pagi hari, jarang makan buah, jangankan seminggu sekali, sebulan sekali juga belum tentu, kendati begitu, Mualimah selalu berusaha menyediakan sayuran, protein hewani maupun nabati untuk keluarga.


“Ibu sudah susun-susun baju untuk dibawa ke rumah sakit, Yah. Takut-takut si adek pengen keluar cepet-cepet.” Tutur Mualimah sambil mengelus-elus perut besarnya.


Mendengar hal itu Mahmud teringat sebuah celengan plastic berbentuk ayam yang disiapkannya khusus untuk menyambut sang buah hati, meski direncanakan lahir secara normal, Mahmud tetap merasa perlu untuk menyiapkan biaya untuk keperluan pasca melahirkan. Ia beranjak dari kursi plastik usang yang berada di ruang tamu mereka.


“Loh, Ayah mau kemana? Ibu masih ngobrol loh, Yah.!”sewot Mualimah merasa tidak dihiraukan oleh sang suami. Hormon ibu hamil memang sulit ditebak, tidak disahut sekali saja langsung sewot.


Mahmud kembali ke tempat semula dan membawa apa yang selama ini disimpannya. “Ibu…Ayah mau ambil ini, lho. Ih..gitu aja langsung ngambek.” cengir Mahmud menggoda sang istri.


Mata Mualimah seketika beralih pada sebuah benda berbahan plastik yang dibawa sang suami, ia terpengarah ketika ikut memegang bahkan mengangkat benda itu. “Ini apa, Yah?” tanyanya. “Ini celengan untuk si adek utun, melahirkan kan butuh biaya, Ayah berusaha menyimpannya sedikit demi sedikit sejak tahu kalau ibu hamil lagi.” Jawab Mahmud tenang sambil menimbang-nimbang muatan celengan ayam tersebut. Mualimah tentu saja merasa sangat bersyukur memiliki seorang suami yang sangat siaga dan pengertian seperti Mahmud, selama 13 tahun menikah, Mualimah tidak pernah merasa dikecewakan ataupun sedih. Semua bahagia meski hidup sederhana.


****


 


 


 


 


“Aduh…yah…yah…yah… sakit banget perut ibu, yah… sakit…”


Mahmud yang sudah tertidur di ranjangnya, seketika baangkit dan duduk di depan sang istri, sepertinya ranjang mereka sudah basah, tidak mungkin Mahmud ataupun istrinya mengompol, ini pasti tanda-tanda si adek mau keluar menemui segala penghuni dunia.


Mahmud gegas bangkit dari tempat tidur mereka menuju kamar dua buah hati lainnya, ia berencana membangunkan Hafidz dan Mumtaz lalu menitipkan mereka pada tentangga. Saat ini jam menunjukkan pukul tiga pagi, bu Susi tetangga mereka yang berprofesi sebagai penjual nasi uduk pasti sudah bangun untuk bersiap-siap.


Setelah membangunkan serta mengantar Hafidz dan Mumtaz pada bu Susi, ia bergerak cepat menuju sang istri, saat mengantar Hafidz dan Mumtaz, ia juga meminta bantuan pak Anto-suami bu Susi untuk mengantar mereka menuju rumah sakit dengan pick up yang dimiliki pak Anto.


“Sabar ya adek utun, Ayah lagi antar abang dan kakak kamu. Lahirnya nanti ya saat ibu sudah di rumah sakit. Sama-sama kita berjuang di sana ya, Nak!” sambil menata napasnya, Mualimah berusaha mensugesti diri dan bayinya agar lahir saat di rumah sakit saja. Konon, cara seperti ini juga ampuh untuk membantu psikis sang Ibu agar tetap tenang ketika hendak melahirkan..


****


 


“Alhamdulillah pak Mahmud, anaknya sudah lahir dengan selamat, jenis kelaminnya laki-laki, Silakan Bapak masuk untuk bertemu sang istri dan anak bapak.”


Haru, itulah yang dirasakan oleh Mahmud, melihat sang istri dan anak ketiga mereka lahir dengan selamat secara normal. Tak henti-henti lisannya bertasbih menyebut nama Allah, mengingat segala Kuasa-Nya yang sungguh luar biasa hingga mereka dapat sampai di rumah sakit lancar tanpa hambatan.


 


 


Komentar

  1. Ini dari judul, kayaknya bakal ada bumbu-bumbu bawang merahnya nihhh. ><

    BalasHapus
  2. Baca judulnya sudah siap-siap tahan napas. Kasihan Bu Mualimah kalau ditinggal wafat suaminya dengan 3 anak kecil-kecil.

    BalasHapus
  3. Lagi mempersiapkan diri kalau-kalau nantinya ada plot yang bikin mewek. Nggak sabar menanti kelanjutan kisah keluarga kecil iniii

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer