Be Resilent : Bangkit dari Luka Masa Lalu

Juni 30, 2022
0 komentar

Halo sobat HujanPena, apa kabar? Kali ini saya ingin membagikan pengalaman serta ilmu yang saya dapatkan dari webinar yang saya ikuti sebulan lalu, webinar ini diadakan oleh Sekolah Pra Nikah Masjid Nurul Ashri.

 
Tema yang diangkat sangat menarik, mengangkat tema Self-Healing, webinar ini diadakan selama tiga hari mulai dari tanggal 28 Mei 2022, 29 Mei 2022 dan 04 Juni 2022.

 


Pada hari pertama, kami para peserta webinar belajar tentang bagaimana "Bangkit dari Luka Masa Lalu" yang dibawakan oleh ibunda Valina Khiarin Nisa, S.Psi.,M.Sc yang kini masih menjabat sebagai dosen Psikologi UNAIR.
Disampaikan dengan sangat baik selama dua jam, dari pukul 09.00 Wib hingga ke pukul 11.00 Wib, seluruh peserta webinar hanyut dalam balutan luka masing-masing yang ingin segera disembuhkan.

 
Guna mengikat ilmu yang bermanfaat, karena sejatinya, ilmu yang tidak dituangkan kembali akan mudah terlupa. Dan sayang sekali jika sebuah ilmu yang bermanfaat tidak disebarluaskan guna menjangkau  banyak orang agar sama-sama dapat menikmati kebermanfaatan ilmu ini. Maka dari itu, saya mencoba merangkumnya untuk sobat HujanPena semua, semoga mendapatkan pelajaran dari sini. Aamiin..


Definisi LUKA

Luka itu sifatnya subjektif, sehingga apa yang menjadi luka bagi saya belum tentu menjadi luka bagi sobat HujanPena, begitu juga berlaku sebaliknya. Semua orang memiliki luka dan sebab luka-nya masing-masing. Sehingga kita perlu memahami luka secara general, tidak perlu membandingkan luka tersebut karena bersifat sensitif.


Luka terdiri dari dua dimensi, yaitu luka di masa lalu dan luka di masa kini.

1. Luka di masa lalu
Sifatnya sangat panjang, bisa dalam waktu setahun lalu, dua tahun lalu, bahkan lima tahun yang lalu. Bisa terjadi karena relasi sosial, relasi keluarga, dan relasi pertemanan.


2. Luka di masa kini
Luka yang baru kita alami kemarin atau beberapa saat lalu.

Adapun luka yang mengerak akibat habituasi, yaitu luka yang tidak kita sadari, namun melekat pada diri kita. Bisa timbul karena pola asuh dan pola komunikasi dengan orang-orang terdekat. Kita perlu mengidentifikasi luka yang kita rasakan, luka itu seperti apa, luka apa yang mengerak di dalam hati, bagaimana peristiwa yang dapat menjadikan itu sebagai luka dan siapa saja orang yang terlibat dalam luka tersebut.

Belajar Mengidentifikasi Luka
1. Mengapa aku terluka? Apa penyebab luka tersebut?
2. Siapa saja orang-orang yang terlibat?
3. Apa yang bisa aku perbuat atas situasi ini? 

Masing-masing orang memiliki cara-cara tersendiri dalam menyembuhkan luka tersebut. 

Perlu ditekankan bahwa setiap manusia diberikan potensi oleh Allah dalam situasi berat sekalipun diberikan kekuatan untuk bisa berpikir jernih, pelan-pelan untuk bisa keluar dari hal-hal yang membuat kita tidak nyaman, meskipun ini membutuhkan waktu dan proses yang tidak mudah. 

Perlu identifikasi hal kecil apa yang bisa kita lakukan untuk keluar dari hal-hal yang membuat kita tidak nyaman, mulai dari beraktivitas dengan orang-orang baik, mengalihkan dengan hal-hal yang membuat kita senang dan tepat menurut Allah. 

Dalam proses mengidentifikasi luka dan proses penyembuhannya, diperlukan sikap sabar. Dengan kita sabar, maka luka apapun yang menghampiri, perlahan mampu kita tepiskan. 

Sabar adalah konsep yang diajarkan oleh Islam, bagaimana kita bisa menyikapi kehidupan kita secara holistic. Seperti yang sudah disampaikan Rasulullah: ’’Puncak kesabaran adalah pada datangnya peristiwa yang menghentakkan.’’ (HR. Bukhari Muslim).

Meninjau korelasi sabar dengan proses penyembuhan luka, pasti tidak jauh hubungannya dengan memaafkan. Memaafkan luka juga dengan orang-orang yang terlibat dalam luka bukanlah perkara mudah. Berbagai pandangan miring tertuju pada kita ketika kita memilih untuk memaafkan seseorang dan luka yang ditorehkan. 

Tidak semua luka bisa disembuhkan hanya dengan saling memaafkan, beberapa kasus kriminal yang dialami tetap harus diproses ke jalur hukum guna mendapatkan keadilan dan agar tidak ada lagi korban berikutnya yang berjatuhan. 

Jika begitu, seberapa penting proses memaafkan pada penyembuhan luka? 

Jawabannya penting. Memaafkan bukan sekadar melupakan rasa sakit serta pelakunya. Memaafkan di sini memiliki arti yang lebih kompleks, dengan memaafkan kita dapat belajar untuk tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain (refleksi diri), datangnya kenyamanan hati, memaafkan seseorang yang melukai mampu mengontrol diri untuk tidak lagi memantik amarah, atau mengulik kembali luka lama. 

Namun perlu diingat, luka tetap harus disembuhkan, sekecil apapun luka itu, tetap harus disembuhkan, memaafkan adalah bagian awal yang dapat kita lakukan secara mandiri, minimal untuk memperkecil risiko sakit yang semakin dalam. 

Dengan menyembuhkan luka dengan baik dan benar, seseorang akan merasa lebih percaya dan cinta pada dirinya sendiri. 

Tahapan Memaafkan

Menurut Enright and Fitxgibbons (1994) ada beberapa tahapan dalam memaafkan:

1. Fase Pembukaan

Mengakui hal-hal yang tidak menyenangkan, apa penyebabnya, siapa yang menjadi penyebab, dan apa pemicunya.

2. Fase Pengambilan Keputusan

Kita menyadari bahwa fase ini menguntungkan bagi diri sendiri, perasaan untuk membalas dendam harus mulai dilepaskan.

3. Fase Tindakan Mulai reframe, melihat latar belakang dan mulai kasihan kepada orang-orang yang melakukan hal tidak baik.

4. Fase Pendalaman

Mulai lega lebih dalam, timbul rasa iba pada orang lain sehingga kita mulai sembuh dari luka tersebut.

Ada 4 Dimensi Memaafkan, yaitu: 

1. Fase No Forgiveness

Tidak ada interaksi fisik dan psikis, tidak ada ruang untuk berinteraksi secara psikis dan tidak mau memaafkan.

2. Hollow Forgiveness

Memaafkan dan menjalin interaksi secara fisik, namun secara psikis hatinya belum tuntas memaafkan. Ini merupakan sebuah proses untuk tuntas dalam memaafkan.

3. Silent Forgiveness

Keputusan untuk memaafkan namun juga membatasi, bahkan sebisa mungkin untuk tidak menjalin hubungan intrapersonal dalam rangka menjaga diri kita. Bukan berarti tidak memafkan, namun lebih ke penjagaan psikis dan menjaga diri agar tidak terluka lagi

4. Total forgiveness

Hati memaafkan, psikis memaafkan, dan menjalin relasi intrapersonal. 

Kesimpulannya, Memaafkan bukan berarti melupakan. Kita dapat memaafkan dan melepaskan amarah untuk pergi, dalam rangka untuk kesehatan mental kita sendiri. Dalam beberap hal, mengingat kejadian tertentu juga bermanfaat bagi kita. Kita justru diberi kesempatan untuk memilih reaksi yang berbeda dari yang sudah kita pilih sebelumnya (ketika menyikapi peristiwa tertentu). 

Dari paparan tentang memaafkan di atas, kita dapat menarik benang merah antara memaafkan sebagai proses penyembuhan luka dengan Resiliensi. Mengingat tema yang diangkat ialah "Be Resilient : Bangkit dari Luka Masa Lalu"

Lalu, apa itu resilient? Atau resiliensi, dan mengapa dalam proses penyembuhan luka, perlu kita pahami resiliensi sebagai satu kesatuan dari memaafkan? 

Resiliensi ialah ketika jatuh, terpuruk, sampai minus, namun kita mampu merangkak ke titik normal. 

Kemampuan setiap resiliensi berbeda-beda, tergantung dengan reaksi psikis dan fisik. Semoga menjadi pembelajaran agar lebih empati bagi diri untuk menjadi resilien. 

Dimensi Resiliensi

1. Fleksibilitas

Fleksibel mengatasi perubahan dan tantangan di luar ekspetasi kita. 

2. Find your support system

Sebagai makhluk social, kita membutuhkan orang lain, membutuhkan dukungan dari keluarga, lingkungan social, bahkan psikolog. 

3. Menggenggam Spiritualitas

Spiritualitas salah satu faktor kesehatan mental individu. Allah ketika menurunkan ujian satu paket dengan penyelesaiannya. Ketika Allah memberikan ujian, tentu itu bukan hal yang mudah, namun dari proses itu kita ditanamkan bahwa kita bisa bangkit dari sebelumnya.

4. Growth Mindset 

Jadikan hidup kita itu berorientasi pada akhirat, memahami bahwa yang kita lakukan yaitu mengumpulkan modal untuk pulang kampung akhirat. Komponen Resiliensi sebagai berikut:

1. Who I am? 

Apa yang membuat kita berharga? 

2. Who I can do?

Apa tujuan kita dalam hidup? Kemampuan kita apa saja? Jodohkan kemampuan dan tujuan kita. 

3. Who I have?

Apa saja yang aku miliki? Bisa berupa koneksi social yang mampu menguatkan kita. Resiliensi dalam perspektif Al Qur’an Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga 

berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)


Kemampuan Dasar untuk Mencapai Resiliensi

1. Regulasi emosi

Kondisi agar kita terlalu sedih ketika mendapati hal-hal yang jauh dari ekspetasi dan tidak terlalu bahagia ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah. 

2. Pengendalian impuls

Kemampuan untuk mengendalikan keinginan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Dalam islam karakter shabr (mengendalikan diri). Dengan tujuan agar lebih berhati-hati dalam bersikap.

Ayat tentang pengendalian diri: 

‘’Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.’’ (QS. Al Imron 200)

3. Optimisme

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Allah sudah menitipkan potensi kepada diri kita untuk mengatasi kesulitan. Optimis realistis seimbang antara doa, usaha dan tawakal. Jika putus asa, maka akan melemahkan potensi dan melumpuhkan potensi kita. Islam berbicara tentang optimis: 

‘’Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

4. Analisa penyebab masalah

Ketika menganalisa masalah, kita coba untuk open minded (dari sisi kita dan orang lain), 

membangun komunikasi secukupnya, memaafkan dan melupakan. ‘’Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dengan keras kaum musyrik dan sembahan mereka, pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad tentang cara menghadapi kesesatan mereka.’’ (QS. Al-A’raf: 199)

5. Empati

6. Efikasi diri

7. Reaching out

Bukan hanya bangkit dari luka, namun mampu meraih hikmah setelah peristiwa ini terjadi. Reahing out terus mencoba dan tidak menghindari kegagalan. ‘’Tiap tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya’’ (QS. Al Mudatsir ayat 38)

Alhamdulillah selesai merangkum materi ini, semoga bermanfaat untuk semua sobat HujanPena yang membacanya ya... 

Komentar

Postingan Populer