Si Sulung dan Si Jadul

Juni 26, 2022
2 komentar
Ivanna duduk menghadap lurus ke arah jalanan dua arah ibu kota. Pemandangan sore hari dengan lalu lalang pengendara roda dua dan roda empat menjadi santapan hari-harinya, tidak banyak objek yang dapat ia tangkap melalui dua netranya, hanya aroma yang menyeruak dari penjual batagor dari arah selatan mengusik indera penciumannya, belum lagi aroma bakaran sate ayam berada tepat di belakang halte yang terbawa angin, benar-benar membuat Ivanna menelan saliva. Bukan ia tidak tergoda, hanya saja satu lembar merah dan dua puluh lembar bergambar pahlawan Mohammad Hoesni Thamrin yang bertengger dalam benda pipih bewarna cokelat milik Ivanna rasanya tidak cukup, mengingat ia masih harus terus mencari pekerjaan di setiap sudut ibu kota ini. 

Di halte ini Ivanna menghabiskan senjanya dalam keheningan, bukan..bukan suasana sekitar yang hening, tentu saja Ivanna dan lamunannya. 

Hampir tiga minggu Ivanna mencari pekerjaan di ibu kota, Ivanna mencoba peruntungannya setelah sang Ayah meninggal dunia satu bulan lalu. Keputusan ini Ivanna ambil demi sang Ibunda dan Dinda-adik perempuan satu-satunya Ivanna. Dinda masih SMP, sedang Ibu hanya seorang ibu rumah tangga, semua tanggung jawab kepala rumah tangga kini sah untuk dipikulnya. 

Senja hari ini begitu sempurna, itu lah yang ada dalam pikiran Ivanna, lengkungan awan yang menyatu dengan langit jingga terlihat jelas oleh Ivanna. Cuaca hari ini cukup cerah, setelah beberapa minggu lalu ibu kota diguyur hujan kala sore hari. 

Ivanna selalu menghabiskan waktu senjanya di halte ini, ketika hujan, ia akan ikut mengguyurkan air matanya, konon, menangis di kala hujan ampuh mengalihkan pandangan mata yang melintas juga mampu menetralisir pedih di hati. 
Saat hujan, Ivanna akan lebih lama menghabiskan waktunya berdiam diri di halte seorang diri, menghirup sejuknya aroma hujan. Menikmati hawa dingin masuk ke dalam kulitnya.

Kriing....kriing....kriing...

Ivanna melihat ponsel keluaran tahun 2018 miliknya, "Assalamu'alaikum, Bu," suara Ivanna memulai obrolan. 

".........."

"Alhamdulillah, Bu, uang Ivanna masih cukup kok. Ibu dan Dinda sehat kan?" ucap Ivanna

".........." 

"Kenapa mendadak sekali, Bu?" kini Ivanna bertanya 

"........."

"Baik, Bu. Waalaikumussalam,"

Belum selesai menikmati senja jingga di ibu kota, Ivanna harus pulang ke desa. Ada wasiat dari sang ayah untuknya. Wasiat ini dititipkan ayah setahun sebelum meninggal, Ayah seolah tahu kapan waktunya akan berakhir. 

Di usia yang mendekati 30 tahun, Ivanna memang tidak dekat dengan siapa pun. Hari-harinya dihabiskan untuk memikirkan orang tua serta adiknya, bahkan dulu sebelum ayahnya meninggal, Ivanna lah yang selalu membantu sang ayah di ladang, mulai dari menanam benih padi, kangkung, cabai, dan aneka palawija lain..
Setelah ayah meninggal, ia memilih untuk ke kota, sedangkan ladang biar lah di urus oleh orang saha dengan ibu yang memantaunya. 

Pergi ke kota, selain untuk mencoba peruntungan nasib, Ivanna sebenarnya sedang lari dari kenyataan, sedang ingin sendiri menikmati takdir Illahi. Kali aja, dengan pergi ke kota, Ivanna dapat sedikit mengobati luka hatinya sepeninggal sang ayah. 

Saat ini Ivanna sudah sampai di teras rumahnya, rumah sederhana, bewarna kuning gading dengan kusen jendela serta pintu di cat cokelat, dengan dua kursi kayu jati yang masih bertengger di sana. Tempat di mana biasanya ayah dan Ivanna bercengkrama di kala senja.


"Assalamu'alaikum Ibu," sapa Ivanna. 

"Waalaikumussalam," sahut seorang pria dengan suara bariton khasnya.

Ivanna tampak bingung, siapa lelaki ini? Batinnya.

"Kaa..kamu siapa? Ibu dan Dinda mana?" tanya Ivanna.

"Aku Suparjo, Ibu dan Dinda sedang ke pasar," jawabnya santai.

"Lalu ngapain kamu di sini? Seingat saya enggak ada saudara ayah bernama Suparjo," cecar Ivanna, jelas dia heran, di tahun 2022 kok masih ada orang dengan nama Suparjo. Jadul banget.

"Aku diminta untuk menjaga rumah ini, kamu Ivanna, ya?" eh malah si jadul kini bertanya. 

Ivanna tidak mau memperpanjang perdebatannya, gegas ia masuk ke dalam rumah yang telah ia tinggalkan hampir 4 minggu ini.

Bayang-bayangnya masih tidak lepas dari kenangan bersama sang ayah. Ivanna bukan lah anak kandung orang tuanya, ia diasuh oleh sang Ayah sejak sang Ayah bujang, Ivanna ditemukan di teras masjid saat sang ayah hendak shalat subuh. Itu lah mengapa jarak usia Ivanna dengan Dinda sangat jauh sekali. 

Ivanna sangat dekat dengan sang ayah, konon, sang ayah akhirnya menikah dengan ibu karena hanya ibu satu-satunya wanita yang ingin menerima dan membesarkan Ivanna. 

Sejak ayah dan ibu menikah, kebahagiaan Ivanna semakin lengkap, ia mendapatkan kasih sayang utuh layaknya seorang anak pada umumnya. 

Di ruangan kamar berukuran 3x3, Ivanna menatap langit-langit kamar yang sudah mulai lapuk asbesnya, warna putih cat nya juga sudah menguning, cat dinding juga sudah mengelupas, sudah 5 tahun rumah ini tidak mendapatkan perawatan layak. 

*****

"Ivanna, kamu sudah makan siang, nak?" suara ibu membangunkan Ivanna yang akhirnya terlelap dalam kenangannya.

"Emm..oh..ibu, sudah pulang dari pasar, Bu?" tanya Ivanna setengah sadar dari tidurnya. 

"Sudah, ayo bangun, sudah shalat dzuhur kamu? Kalau belum, ayo cepatan shalat lalu makan siang, ibu tunggu di dapur ya!" ajakan ibu menyadarkan Ivanna kalau sejak pagi ia belum makan apa-apa, uang semalam sudah habis untuk ongkosnya pagi ini, jika digunakan untuk beli sarapan, jelas ia tak akan sampai ke rumah ini.

Gegas Ivanna melaksanakan kewajibannya, lalu beranjak menuju dapur, wangi ayam lengkuas dan tumis kangkung terasi mempercepat langkahnya, ia rindu sekali dengan masakan ibu. 

Layaknya anak yang sedang merantau, bisa makan menu tahu dan tempe khas warteg saja sudah bersyukur. 

"Ivanna, sini sayang, makan sini! Din, ambilkan kakak mu piring, ya!" perintah ibu

"Ibu masak sebanyak ini untuk siapa? Ini kebanyakan ayamnya bu kalau untuk kita bertiga saja," ucap Ivanna sembari menyendokkan tumis kangkung terasi ke dalam piringnya. 

"Kakak enggak tahu? Nanti malam kakak lamaran, lho," ujar Dinda.

Ivanna menganga dengan sendok menggantung di antara piring dan mulutnya. Jelas ini sangat mengejutkan, rasa laparnya seketika hilang. Bagaimana mungkin akan ada acara penting bagi hidupnya tapi dia tidak tahu apa-apa. 

Ivanna teringat percakapannya dengan sang ibu tadi malam, bahwa ia akan dinikahkan dengan anak dari sahabat ayah, sahabat kecil ayah dari Sidempuan. 

"Bu?" Ivanna bertanya pada sang ibu dengan tatapan minta pertanggung jawaban.

"Kamu sudah bertemu Suparjo? Dia lah calon suami mu, wasiat ayah adalah kamu harus menikah setelah sebulan ayah meninggal. Dan ini lah waktunya, Na,"

"Tapi aku harus tahu juga dong, Bu, aku nerima dijodohkan, tapi enggak secepat ini juga, kan?" ucap Ivanna kesal.

Bagaimana mungkin menikah dengan seseorang yang dikenal saja tidak, eh..jadul lagi namanya, buat aku malu saja. Membayangkan namanyanya bersanding dengan Suparjo di kartu undangan saja membuatnya bergidik ngeri.. 

"Kamu ikhlas, kan?" tanya ibu pada Ivanna.

"Mau tidak mau lah, Bu, toh Ivanna bilang tidak ikhlas sekalipun, ibu sudah masak sebanyak ini untuk menyambut mereka," jawab Ivanna ketus, dengan rasa kesal bercampur heran. "Apa sih hebatnya Suparjo ini? Kenapa ayah ingin menikah kan ku padanya?" Batin Ivanna berdiskusi.

"Ibu tahu kamu pasti bertanya-tanya, sama, kami juga, orang tua nak Suparjo menghubungi ibu menyampaikan  isi wasiat ayah. 

"Ibu sampai demam, kak, memikirkan bagaimana cara menyampaikannya ke kakak," imbuh Dinda.

"Huff...yasudah, Bu, apa lagi mau dikata, semua keinginan ayah, keputusan ayah untuk Ivanna pasti terbaik untuk Ivanna," Ivanna menjawab dengan lemas, nasi yang sudah di hadapan pun tak lagi membuatnya berselera.

****

Hari pernikahan tiba, rumah sederhana disulap menjadi sebuah tempat resepsi pernikahan dengan tira-tirai putih ke emasan, ornamen-ornamen khas dekorasi pelaminan pun terlihat di sana sini, pekarangan rumah berubah, sejak malam, Ivanna tidak banyak bicara, ia dirundung kesedihan, menyesali kehidupan yang seolah tak pernah berpihak baik untuknya. 

Memang sih, Suparjo memiliki wajah yang meneduhkan siapa pun yang memandangnya, dengan potongan rambut ala Rano Karno di film Si Doel Anak Jalanan, belum lagi kumis tipis dan jambang tipisnya melewati kuping, pemandangan yang enggak buruk-buruk banget untuk seseorang bernama Suparjo. "Tapi kok ya bisa dia? Apa enggak ada anak oppa - oppa korea yang dikenal ayah?"

"Saya terima nikahnya Ivanna Larasati binti Tedjo dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai," ucap Suparjo dengan mantap. 

"Sah.."

"Sah.." 

Sahut seluruh tamu undangan selepas Suparjo dengan lantang mengucapkan ijab kabul di hadapan wali nikah. 

"Ya Allah, semoga pernikahan ini baik-baik saja," ucap Ivanna dalam batinnya. 

Seluruh rangkaian acara pernikahan Ivanna dan Suparjo akhirnya selesai, keluarga Suparjo kembali ke kampung halaman mereka di Sidempuan. Meninggalkan Suparjo untuk memulai biduk rumah tangganya dengan sang istri. 

Ivanna dan Suparjo juga telah meninggalkan altar pelaminan, para tamu undangan telah habis, tinggal lah ibu, Dinda, bibi dan sanak saudara lain yang datang dari Sidempuan. Ayah memang asli pemuda Sidempuan, kecil dan besar di Sidempuan, bahkan saat mengadopsi Ivanna, ayah masih tinggal di Sidempuan bersama kakek dan nenek, lalu menikah dengan ibu dan merantau ke Sipispis. 

Di dalam kamarnya yang kini telah berubah dengan sentuhan bunga-bunga plastik sewaan bidan pengantin, serta tirai-tirai keemasan, tak lupa ratusan kuntum bunga melati yang dirajut indah menambah kesan berbeda, khas kamar pengantin. 

"Eit...bang Suparjo jangan sentuh aku. Aku enggak mau disentuh-sentuh, ya. Jangan macem-macem!" titah Ivanna, mewanti-wanti jangan sampai Suparjo macam-macam. 

"Enggak lah, Dek. Abang juga enggak mau nyentuh kamu kalau kamu nya enggak siap," jawab Suparjo.

Ivanna menghela napas lega, tentu saja malam ini setidaknya ia bisa tenang tanpa takut tiba-tiba dinodai. 

Sedang asik memainkan gawai miliknya, ia melihat Suparjo yang justru sedang mengaji, selepas bersih-bersih, Suparjo dan Ivanna melaksanalan shalat Isya berjamaah. Bukannya ikut mengaji dengan suami, Ivanna justru asik memainkam gawainya, mengomentari komentar sahabatnya yang ikut menghadiri pesta pernikahannya. Tidak banyak teman Ivanna yang diundang, hanya sahabat-sahabatnya saja, selebihnya tamu ibu. 

"Ehem..ehem..." Ivanna sengaja memberikan kode untuk sang suami. 

"Iya, Dek." 

"Abang rajin banget, sih ngaji, sini duduk sini, tukeran nomor hp kita," 

"Mengaji dapat menenangkan hati, Dek. Obat untuk hati dan pikiran yang semrawut," 

Deg! 

Ivanna bengong, ia baru sadar kapan terakhir kali ia membuka dan membaca Al-Quran, sepertinya saat pengajian untuk kirim doa ayah. 

"Iya, tahu. Oh..nomor hp abang berapa? Bagi lah, mana tau perlu," ucap Ivanna yang tidak lupa dengan tujuan awalnya.

"085277442828" 

"Oke, aku save, ya. Ini sekalian nomor WA, kan?" tanya Ivanna lagi. Kini dia sudah mulai terbiasa dengan orang asing di depannya yang sudah berstatus suami. Karena kalau dipikir-pikir, apa untungnya jutek sama Suparjo, toh.. Dia sudah berjanji enggak akan menyentuh Ivanna selama Ivanna belum siap.

"Abang enggak punya WA, Dek. Hp abang kayak gini," jawab Suparjo dengan menunjukkan model hp jadul yang ada senter di bagian atasnya. 

"Ish..jadul kali abang ini, nama jadul, hp pun jadul, jangan-jangan baju abang di dalam tas itu juga modelnya jadul-jadul," 

"Memang iya, Dek. Betul kali itu," kekeh Suparjo menjawab pertanyaan Ivanna.

"Astaga...kenapa ayah memilih makhluk abad 70an ini kepadaku, ya Allah," racau Ivanna tidak menyangka pilihan sang ayah se jadul ini. 

****

"Bu, Ivanna ada keperluan ke rumah si Mirna bentar, ya." ucap Ivanna

"Ajak lah suamimu, biar kenal kawan-kawan mu,"

"Ah enggak lah, Bu. Malu Ivanna, lihat tuh, dari pagi kerjanya cabut rumput lah, ikut ke ladang lah, nebang pohon lah, alasannya pohon depan rumah sudah terlalu rimbun," sanggah Ivanna

"Ya bagus dong, Berarti suami mu itu pekerja keras, mau bantu-bantu,"

"Enggak lah bu, lihat lah pakaiannya, persis kayak pakaian ayah, di luar rumah pakai celana, di dalam rumah, besarung aja, apalagi kalau kawan-kawan Ivanna nanya, siapa nama suami mu, Na? Ih malu, Bu, lagian Ivanna bentar aja kok," 

"Yasudah, minta izin lah pada suami mu dulu," 

"Eh ini orangnya, kebetulan, Bang, Ivanna pergi ke rumah teman, ya, bentar aja kok," 

"Abang ikut, ya!" pinta Suparjo.

"Ih...ngapain? Enggak-enggak, nanti yang ada aku malu loh ditanyain teman-teman, dapet di mana suami begini, abang juga kenapa sih enggak beli baju sesuai tahun lahir atau tahun hidup, gitu." protes Ivanna.

"Bukannya abang tidak mau beli, kalau yang lama masih bagus, kenapa enggak dipakai? Kalau sudah robek, baru lah abang beli yang baru," 

"Udah ah...Ivanna bentar aja kok, paling dua jam,"

Namanya juga wanita, katanya hanya dua jam, berujung 5 jam, akhirnya Ivanna pulang selepas adzan Isya berkumandang, jarak rumah Ivanna dengan rumah Mirna memang tidak jauh, hanya tiga belokan saja, namun, namanya sudah malam, apalagi daerah rumah Ivanna sunyi sekali kalau sudah lepas maghrib, hanya ada beberapa jamaah shalat Isya yang keluar. 

Ivanna ragu ingin menelpon Suparjo, karena dia sudah berjanji hanya dua jam, malah berakhir 5 jam, jelas Suparjo akan marah kepadanya. 

Melihat kondisi sekitar, bulu kuduk Ivanna langsung berdiri, suasana gelap dengan masih banyak pohon di kanan kiri, rumah warga juga tidak begitu rapat, hanya ada 8 rumah saja dengan jarak yang jauh-jauh pula, semakin menambah kesan sunyi.

"Psst...cewek..sendirian aja?" goda salah seorang lelaki. 

Ternyata ia sudah diikuti oleh dua orang sejak keluar dari rumah Mirna. Ivanna yang sedang mengendarai sepeda motornya merasa sangat gugup, ditambah dengan penerangan yang kurang, Ivanna terjatuh, ada sebuah lubang cukup besar yang tertutup air.

"Tolong....tolong....tolong...." teriak Ivanna. Ia tak kuasa lagi untuk berdiri, kakinya yang tertimpa sepeda motor rasanya kebas dan sulit digerakkan.

"Hahaha....makanya naik keretanya pelan-pelan aja, jatuh kan..cup...cup...kasian," ujar salah seorang dari mereka seraya mendekat ke arah Ivanna.

"Plak....plak...." suara tamparan keras seseorang

"Bang..bang...bang ucok ampun bang..ampun..," ucap salah satu dari mereka yang masih duduk di atas sepeda motornya. 

"Pergi kelen! Jangan kelen nampakkan lagi muka kelen di sini. Ataau.....," ucap Suparjo.

"I...i...iya bang, iya bang ampun bang," 

Gegas mereka bangkit dan meninggalkan Ivanna dan Suparjo. 

Dalam hening, Ivanna meringis menahan kesakitannya setelah jatuh, juga menahan rasa ingin tahunya, "kenapa preman-preman tadi bisa takut sama bang Suparjo dan Ucok? Siapa Ucok? Kenapa dipanggil Ucok? Jauh banget Ucok ke Suparjo kan ya?" batin Ivanna.

Apa mungkin, ayah memiliki alasan lain mengapa menikahkanku dengan Suparjo? Dan. Siapa dia sebenarnya??

TAMAT












Komentar

  1. Ngakakk banget, Ivanna kenalan sama suami udah kek kenalan sama temen wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesungguhnya ini mau dijadiin cerpen komedi, Vin. Hanya saja, karena ngerjainnya buru-buru, gak dapet feel komedinya 🤭

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer