Cerbung : Sujud Terakhir Ayah

Juni 13, 2022
4 komentar
Cerbung :  Sujud Terakhir Ayah part 4

Untuk Sobat HujanPena yang belum baca part sebelumnya, bisa klik link di bawah 👇🏻


"Hafiz, hari ini ada jadwal mengajar? Kalau tidak ada, tolong antarkan bekal makan siang Ayah ke pajak pekan ya, Nak! Ibu masih ada kerjaan, Mumtaz juga belum pulang sekolah, enggak ada yang jagakan Yusuf," pinta Mualimah pada Hafiz, putra sulungnya.

"Iya, Bu. Ba'da shalat Dzuhur, Hafiz antar bekal Ayah," jawab Hafiz.

Mualimah memandang sendu wajah sang putra, sudah dua minggu ini Hafiz terlihat murung sekali, ia tidak lagi banyak bercerita seperti dulu, sehabis shalat di musholla, Hafiz langsung menuju kamarnya untuk beristirahat atau menghapal hadist-hadist.

"Hafiz, ibu mau bertanya," Mualimah kini mendekat, membelai lembut kepala sang anak hingga pundaknya.

"Tanya apa, Bu?" jawab Hafiz dengan tatapan heran atas perlakuan ibundanya. 

Mualimah terkenal sebagai ibu dan istri yang lembut, bijak dan murah hati, meski begitu, anak-anaknya tahu betul bagaimana perangai sang ibu, pasti ada hal yang ingin disampaikan kalau sudah begini tindakannya.

"Kamu ingin sekali kuliah di Kairo?" tanya Mualimah 

"Apalah daya Hafiz, Bu, Hafiz ingin tapi Ayah tidak memberikan izin, sebenarnya untuk biaya kuliah, Hafiz bisa mencari info seputar beasiswa, Bu. Jadi, tidak memberatkan Ayah dan Ibu," ujar Hafiz.

"Ibu percaya kamu bisa, begini saja, kamu masih sabar menunggu, kan? Tunggu lah sampai Mumraz diterima di SMP Negeri, nah, selama itu kamu bebas mencari informasi tentang beasiswa. Ayah, biar ibu yang ngomong," ucap Mualimah yang langsung dibalas senyuman sumringah oleh sang anak. 

"Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa hambaMu ini," lirih Hafiz berucap.

"Jangan kecewakan Ibu dan Ayah, belajar lah dengan tekun, jadi orang yang berguna, kamu adalah anak sulung Ibu dan Ayah sekaligus panutan untuk adik-adikmu kelak, nantinya tanggung jawab Ayah Ibu atas adik-adikmu akan engkau pikul," ucap Mualimah dengan manik mata yang berembun. 

Bukan tanpa alasan Mualimah berkata seperti itu, memang benar lah adanya, saat kedua orang tua telah tiada, maka tanggung jawab, serta silaturahim antar saudara akan beralih kepada anak-anak mereka, khususnya anak pertama. 


                                 ⭐⭐⭐

"Bu..bu...," panggil Hafiz dengan semangat menggebu, seolah tak sabar ingin menyampaikan berita baik yang dibawanya. 

"Eh....hati-hati kamu, Nak. Pelan-pelan saja," jawab Mualimah

Sore itu, Hafiz, Yusuf dan kedua orang tuanya sedang berkumpul di sebuah saung kecil di tengah ladang mereka, ya.., setelah kepulangan Hafiz dari pesantren, keluarga Pak Mahmud membeli sebidang tanah yang kini mereka tanami padi, tanah yang dibeli memang tidak begitu luas, hanya satu setengah hektar, namun alhamdulillah bisa mencukupi kebutuhan beras mereka dan sisanya dapat dijual untuk sekedar menambah uang belanja. 

"Hafiz dapat surat, Bu. Barusan ada balasan email dari salah satu kampus, hasilnya adalah Hafiz diterima masuk ke Universitas mereka, Bu," seru Hafiz yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

"Alhamdulillah...,Yah..Yah..Hafiz keterima kuliah di Kairo,Yah," ucap Mualimah 

Mahmud tidak banyak berekspresi, sesungguhnya ia tidak begitu setuju akan keinginan Hafiz kuliah di luar negeri, namun, seperti ada kejanggalan di hatinya, itu ia rasakan sejak pertama sekali mendengar Hafiz berniat kuliah di Kairo, baginya, tidak mengapa kuliah lagi, toh, rejeki, maut dan jodoh sudah ada yang menjaminnya, pas sesuai takarannya. Meski ia hanya seorang penjual pekanan, ia yakin mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. 

Menurut Mahmud, jauh sekali Kairo itu, ia khawatir terjadi apa-apa pada sang anak, seperti yang sering di dengarnya di televisi. 

Mahmud ingin Hafiz berada dekat dengan keluarganya, kuliah di dalam negeri saja, agar ia bisa sesekali menjenguk putranya. 

                                     ⭐⭐⭐

"Bu Ningsih udah dengar kabar, belum?" tanya Bu Tejo seketika. 

Pagi ini, seperti biasa, Bu Tejo dan Bu Ningsih sedang sibuk memilah sayuran, ikan dan daging di gerobak sayur Mang Asep - penjual sayur keliling- 

"Dengar kabar apa sih Bu Tejo? Harga telur dan cabe mahalnya selangit? Ngalahin harga emas? Kalau itu mah saya sudah tau, tuh Mang Asep tadi udah ngabarin," sahut Bu Ningsih

"Itu..si Hafiz, mau kuliah ke Kairo," ujar Bu Tejo

"Ha? Serius, Bu Tejo? Ibu tau dari mana? Jangan nyebar hoax deh, gak boleh," 

"Siapa yang hoax, ibu ini lupa ya kalau bapaknya anak-anak lurah di desa ini? Aku tau dari suamiku, dua yang lalu Hafiz ke kantor lurah, mengurus surat apaa gitu namanya untuk keperluan kuliahnya di luar negeri. Aku tuh heran deh sama si Hafiz, kenapa egois banget, ya. Dia  hanya mikirin dirinya sendiri, dia gak mikir apa ya gimana sulitnya Ayah dan Ibunya menghidupi dia dan adik-adiknya, kuliah sampai luar negeri, wong di dalam negeri aja mahalnya minta ampun,"

"Biar saja toh, Bu, mungkin dapat beasiswa," sahut Mang Asep yang sedari tadi mendengarkan

"Iya Bu Tejo, biar aja sih, ya bagus dong, dari desa kita ada yang kuliah sampai luar negeri lagi, di mana tadi ibu bilang? Mero? Ha? Sero? Duh..rada budek nih," sambut Bu Ningsih 

"Kairo loh Bu Ningsih, Bu Ningsih ini kebiasaan banget deh," kesal Bu Tejo yang seperti bicara dengan tembok kalau sudah berhadapan dengan Mang Asep dan Bu Ningsih, sering tidak diladeni.

"Mudah-mudahan, sepulangnya Hafiz dari Kairo, dia bisa bermanfaat untuk desa kita, Bu. Mana tahu suatu saat nanti ada sekolah berbasis islam di desa kita," timpal Mang Asep

Bu Tejo terlihat kesal, bukan karena kesuksesan keluarga Mahmud dan Mualimah yang mampu menyekolahkan anak mereka sampai perguruan tinggi, luar negeri pula, tetapi kesal dengan respon Mang Asep dan Bu Ningsih yang seolah bijak hari ini.

                                   ⭐⭐⭐

"Jaga diri kamu baik-baik selama di sana ya, Nak. Doa Ibu, Ayah dan adik-adik selalu menyertaimu agar enagkau berhasil," lirih Mualimah sembari menemani sang anak berkemas

"Iya, Bu. Insyaa Allah Hafiz akan selalu ingat pesan Ayah dan Ibu, Hafiz juga gak akan lama, insyaa Allah Hafiz berjuang agar bisa segera menyelesaikan kuliah Hafiz," ucap Hafiz

Mahmud yang berdiri di balik tirai kamar sang anak hanya bisa terdiam, menahan rasa sedihnya dan matanya yang mulai basah. Dia harus menerima kepergian Hafiz demi cita-citanya. 

Bersambung 
 




Komentar

  1. Jadi penasaran n ga sabar nunggu sambungannya.. Mba.

    BalasHapus
  2. Enjoy the story ya mba Wincee.. Siapin tisu 🤧

    BalasHapus
  3. Kayaknya Pak Mahmud bakalan berpulang waktu Hafiz di Kairo deh nih. Huhuhu..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer