Pekik (belum) Merdeka Guru Honorer : “Jasamu Terkenang, Peluhmu tak Terbayar” [OPINI]

Juni 03, 2022
3 komentar

 

Merdeka  adalah bebas, lepas dari tuntunan, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu (sumber : KBBI)

Penjelasan di atas sepertinya berbanding terbalik dengan keadaan para guru honorer di Indonesia, guru honorer belum "merdeka" meski saat ini sedang marak disosialisasikan tentang "kurikulum merdeka". Namun, guru honorer belum se-merdeka itu.

Banyak guru honorer yang sangat bergantung pada petinggi sekolah yang dianggap memiliki wewenang atas “masa depan” mereka. Indonesia yang kini terbagi atas 34 provinsi memiliki kurang lebih 2.977.379 total guru baik PNS maupun Non PNS  yang mengabdikan dirinya demi mencerdaskan anak bangsa, dan tidak dapat dipungkiri 1/3 dari total di atas diisi oleh guru honorer, pejuang NIP yang mengabdi pada sekolah-sekolah negeri yang tersebar di seluruh Indonesia, terbagi atas beberapa jenjang. Tugas seorang guru bukan sekedar mengajari membaca, menulis atau berhitung, lebih dari itu. Berapa banyak potensi anak-anak Indonesia yang tergali oleh sosok guru. Berapa banyak pula wilayah terpencil, terluar, terdalam Indonesia yang akhirnya bangkit dan berkembang setelah hadirnya sosok pahlawan tanpa tanda jasa datang mengajari, membimbing dan mengayomi anak-anak terluar agar tidak tertinggal.

Apakah setelah mengabdi belasan hingga puluhan tahun, masuk dan tinggal di desa terpencil menjadikan sosok guru dihormati dan dihargai di negara kaya raya ini? Jelas tidak. Mereka yang mengabdi tetap mengabdi tanpa satupun balas budi negara ini. Mengapa saya katakan demikian? Mari kita lihat fakta-fakta terbaru yang semakin menyulitkan para guru.


1. Dihapusnya CPNS untuk guru berganti PPPK  

Sampai saat ini pasti ada yang sulit membedakan antara CPNS dengan PPPK. Keduanya sama-sama rekrutmen yang diselenggarakan oleh pemerintah. Namun, kedua sangat berbeda. Dalam PPPK, guru dikontrak dengan masa jabatan hanya lima tahun, setelahnya? Harus mengikuti kembali seleksi PPPK yang dilaksanakan pemerintah. Semua pegawai lulusan PPPK tidak mendapatkan uang pensiun layaknya PNS kendati sama-sama memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP) pasca dinyatakan lulus. Pada seleksi PPPK tahun 2021 silam, dunia guru honorer dihebohkan dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan ketimpangan, guru honorer dengan rentang usia 40 tahun keatas dan tempat mengabdi di daerah terluar Indonesia mengalami kesulitan dan sikap diskriminatif dari para panitia yang disebabkan karena mereka dianggap tidak mampu mengoperasikan komputer sebagai media seleksi. Lalu, hasil yang beredar, jelas lah guru honorer dengan usia 22 tahun keatas yang mendominasi nilai-nilai tertinggi, hal ini disebabkan karena mereka mampu mengoperasikan komputer, mampu belajar kembali guna mempersiapkan diri menghadapi seleksi PPPK, padahal jika dilihat dari masa abdi, masa abdi mereka masih jauh dari para guru honorer sepuh yang mengalami nasib tidak baik. Lalu bagaimana nasib guru honorer yang telah mengambil belasan hingga puluhan tahun? Adil kah? 


2. Administrasi yang Tak Kunjung Henti

Saya ingat betul, apa alasan saya enggan menjadi guru di sekolah pada tahun 2017-2021, tidak lain dan tidak bukan karena saya malas berurusan dengan segala administrasi yang justru menguras waktu, pikiran dan tenaga. Seperti membuat Silabus, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) PROTA (Program Tahunan), PROSEM (Program Semester) dan segala administrasi lainnya. Semua justru menghabiskan banyak tenaga, waktu serta biaya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Apalagi pergantian kurikulum di setiap pergantian Menteri, jelas ini sangat membingungkan para guru, menyesuaikan kurikulum sebelumnya dengan kurikulum setelahnya. Apakah ada sosialisasinya untuk perubahan kurikulum ini? Di kota-kota besar jelas ada, bagaimana dengan sekolah-sekolah di pedalaman? Tertinggal. 

Lalu bagaimana dengan kurikulum merdeka yang sedang ramai di gembar-gemborkan oleh Mas Menteri? Ibarat kata, bagai mengajari anak kucing menari. Bisa? Mungkin bisa tetapi butuh waktu yang lama. Mengapa demikian? Di beberapa kondisi, sekolah tidak bisa menerapkan kurikulum tersebut. Hal ini disebabkan Indonesia adalah negara paling luas, dengan kondisi geografis yang tidak sama. Informasi sulit datang tepat waktu. Ketika ada sekolah yang tidak dapat mengikuti perubahan ini, siapa lagi yang akan dipersulit dan ditekan? Jelas guru. 


3. Upah yang Tak Layak

Ini masalah lama sebenarnya, tapi entah mengapa selalu menjadi yang pertama untuk dibahas dalam forum apapun yang berkaitan dengan kesejahteraan guru. Guru honorer, dengan tugas dan tupoksi yang sama dengan guru PNS, bahkan terkadang guru honorer "dipaksa" banyak mengerjakan ini dan itu, tetapi untuk urusan gaji? Guru honorer harus ikhlas menerima gaji yang turun tiga bulan sekali, itu juga dengan nominal Rp. 300.000 - Rp. 500.000 per bulan. Miris? Yah, itu lah kenyataannya. Maka tidak lah heran, dari jaman saya sekolah hingga kini, guru banyak "nyambi". Ya, nyambi jualan online, nyambi berladang, nyambi jadi supir ojek online dan nyambi-nyambi lainnya. Bayangkan saja, dengan upah segitu apalagi diterima tiga bulan sekali. Ah..teriris sekali hati saya. 


Tahun demi tahun, silih berganti peraturan demi peraturan yang harus mereka lalui, namun, apakah pernah ada solusi untuk setiap elegi? Jika ingin diurai lebih banyak, maka tak akan ada habisnya problem, kisah pilu seorang guru. " Jadi guru itu banyak pahalanya, lho!" suara sumbang yang tak tahu apa-apa. "Enak jadi guru, liburnya banyak, anak sekolah libur, guru juga libur." celotehan seseorang yang tak tahu apa-apa. Apakah guru benar-benar "libur" saat siswa libur? Jelas tidak. Ada administrasi lanjutan yang harus segera dipersiapkan untuk semester depan. 

Guru hanya sosok pembaharu, pembawa perubahan jaman. Guru adalah penggerak majunya sebuah bangsa. Banyak orang-orang sukses di masa lalu dan di masa mendatang yang tercipta dari tangan guru-guru hebat. Akankah kemerdekaan benar-benar dirasakan oleh seluruh guru? Atau mungkin kah suatu saat nanti ada bentuk apresiasi untuk para guru yang telah menyerahkan seluruh dunia dan hidupnya untuk pendidikan? Atau jasa guru dikenang hanya di setiap tanggal 25 November saja? 

Pemerintah tak pernah salah menginginkan guru terbaik untuk generasi terbaik, pemerintah tak pernah keliru dalam membuat banyak peraturan baru hanya saja perlu evaluasi lebih menyeluruh agar impian itu tercapai tanpa pandang bulu.

Pernahkah suatu ketika kita bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa yang dicari dari sebuah pekerjaan sebagai guru honorer yang bahkan menunggu gaji tiba tak ayal membuat kita sering bersusah payah berhutang demi menyambung hidup. Pernahkah suatu ketika kita bertanya pada diri sendiri apa yang dicari dari sebuah pekerjaan guru honorer yang sering dianggap sebelah mata bahkan sering tak terlihat. 

Dan pernahkah kita bertanya pada diri sendiri sebenarnya apa yang kita pertahankan dari sebuah pekerjaan guru honorer yang tak jarang nyawa pun jadi ancaman, melintas berbagai medan yang terjal demi sampai ke sekolah tujuan untuk bertemu para generasi bangsa. Atau pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apalagi hal yang kita ingin raih di dunia ini dari sekedar menjadi guru honorer yang segala urusan administrasi dipersulit, hidup terasa semakin sempit. Segala pertanyaan itu seolah datang silih berganti setiap hari menghiasi mimpi-mimpi, namun, faktanya hingga kini masih banyak dan akan terus bertambah para pejuang pendidik  muda yang rela menghabiskan sisa umurnya demi mengabdi pada negara, meski sering dianggap tidak ada. 


Dari Aku

Istri dari seorang guru honorer.

Komentar

  1. Memang suka miris kalau lihat problematika ini ya Mbak.
    Bapak ibuku juga guru honorer yang sudah mengabdi lama dan kesulitan dalam menggunakan komputer. Suka jadi sedih, tapi juga bangga sama keduanya, tetap menebar kebaikan mencerdaskan bangsa walau banyak problematika.
    Definisi malaikat tapa sayap. Semoga keadaan ini makin membaik terkhususnya para guru honorer yang sudah berumur dan mengabdi lama diberikan apresiasi sebagaimana seharusnya mereka dapatkan. Juga sistem pendidikan yang tidak ribet di pemberkasan, sesuai pendapat mbak, waktu untuk terjun dengan anak langsung jadi terhambat karena memikirkan dokumen ini dan dokumen itu.
    Makasih sudah mewakili beribu orang dengan postingan ini mbak ^^

    BalasHapus
  2. semuanya tentang kemerdekaan ya, tapi guru honorer masih belum merdeka ya mbak. keren ulasannya mbak, thanks ya

    BalasHapus
  3. Duh, jadi makin sedih ingat nasib guru honorer, kebetulan siang ini saya juga berencana berkunjung ke satu pulau di tengah laut, ke sekolah tempat beberaoa guru honorer mengabdi. Thaks mba sgaringnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer