Menantimu Datang [Cerpen]

Juni 04, 2022
1 komentar
Riuh suara para tamu datang menyemarakkan pesta pernikahan aku dan Kang Dimas. Semua keluarga berkumpul, bergembira merayakan bersatunya dua insan, dua keluarga. Dari altar pelaminan aku bisa melihat senyum seluruh keluarga dan sanak saudara, melihat sudut makanan yang dikerubungi para tetangga serta goyangan para biduanita seirama dengan alunan musiknya. Pesta pernikahan kami sangat sederhana, hanya beratapkan tenda-tenda pelaminan dengan warna biru dan putih yang mendominasi, di sisi kiri dan kanan terhidang aneka makanan, ada semur ayam, telur balado, balado keripik mie ubi, gado-gado, tauco dan sup ayam. Tak ada makanan selingan seperti orang kebanyakan, hanya buah pisang sebagai pencuci mulutnya. Pernikahan sederhana ini adalah hasil perjodohan kedua orang tua kami, kebetulan orangtua Kang Dimas dan orang tuaku tergabung dalam pengajian yang sama. Tepatnya satu bulan yang lalu, mereka resmi mengenalkan kami dan tanpa basa-basi resepsi pun terjadi. Apakah pernikahanku bagai membeli kucing dalam karung? Ah..entahlah, yang ku tahu orang tuaku tak akan pernah keliru memilihkan pendamping untukku. Sejak SMP, Abah adalah pemegang kunci setiap keputusan di rumah. Tidak ada satupun yang berani membantah apalagi menolak keputusan Abah, Abah selalu memilihkan yang terbaik untuk kami, untuk aku. Sama seperti dua kakak-kakakku, pernikahan mereka juga hasil keputusan Abah. Apakah mereka bisa membantah? Jelas tidak, meski begitu, aku menyaksikan sendiri kini pernikahan kedua kakak-kakakku baik-baik saja, tidak ada perselisihan yang berarti, pilihan Abah selalu tepat. Itu yang ku yakini. 

"Kita shalat sunnah dulu ya, Neng," pinta Kang Dimas padaku

"Iya, Kang," jawabku

Pesta telah usai tak lama setelah adzan Isya berkumandang, tepat pukul delapan malam seluruh tamu undangan pulang, seluruh anggota keluarga sigap membereskan sisa-sisa pesta. Tinggal lah kami sang ratu dan raja sehari kembali ke kamar pengantin yang dihiasi dengan tirai berwarna senada dengan tirai yang menghiasi tenda-tenda pesta. Ditambah dengan beberapa artificial flower bewarna merah muda dan putih menambah kesan ramai di kamar pengantin ini. 

Satu per satu kain yang menutupi kepalaku dibuka, serta riasan make up yang tidak tebal namun juga tidak tipis kuhapus perlahan. Rasa malu berkecamuk dalam dadaku, ini pertama kalinya untukku satu ruangan dengan lawan jenis, apalagi perkenalan yang singkat, seolah belum ada chemistry yang terbentuk diantara kami. 

"Malam ini kita istirahat saja, yah," ujar Kang Dimas usai kami melaksanakan shalat sunnah sekaligus shalat Isya berjamaah.

"Kenapa, Kang? Apa..." lidahku kelu, rasanya aku tak mampu mengutarakan hal yang biasanya dilakukan sepasang pengantin baru di malam pertama, malu.

"Enggak usah sekarang, Akang paham bagaimana perasaan kamu, kita belum lama kenal, butuh waktu untuk kita berdua. Malam ini kita istirahat saja," jawabnya sambil mengelus kepalaku bak anak kecil yang sedang dinasehati. 
                                   ******


Satu tahun telah berlalu, Kang Dimas menjadi sosok suami dan lelaki paling manis yang pernah ku kenal. Perlakuannya, ucapannya serta sikapnya tidak pernah mengecewakanku, ia berhasil membuat hatiku berlabuh tepat di dermaga hatinya. Selama satu tahun aku belajar menjadi istri, sahabat yang baik untuk Kang Dimas, selama satu tahun ini pula aku mengetahui bahwa ternyata Kang Dimas pernah mengenyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, mengambil jurusan teknik pertanian membuat ia semakin sukses mengembangkan lahan pertanian milik orangtuanya dengan sangat baik. Ilmu agama yang ia miliki juga tak kalah denganku yang notabene mantan siswa pesantren, ia mampu menyihirku dengan segala kepintarannya, ia benar-benar membimbingku, dengan bersamanya pengetahuanku tentang dunia semakin luas, ini lah pernikahan impian yang selalu aku langitkan. Membangun biduk rumah tangga dengan pria sholih dan bijaksana. Terima kasih Allah..

Namun, bukan manusia jika tanpa ujian, memiliki suami yang luar biasa, keluarga besar yang selalu akur, mertua yang menyayangiku seperti anak sendiri, aku dan Kang Dimas dihadapkan oleh sebuah kenyataan dan pertanyaan yang tidak akan pernah berakhir, kemana pun kami pergi, pertanyaan itu selalu menghantui.

"Tyas, kamu sudah hamil?" rekan kerja Kang Dimas bertanya padaku saat kami menghadiri acara halal bihalal kantor tempat Kang Dimas bekerja

"Alhamdulillah belum, Mba," jawabku enggan.

"Oh..udah periksa ke dokter? Atau udah coba pijet? Pijet atuh..udah setahun kan ya?" sahut suara lainnya.

"Em..belum, Mba, Kang Dimas masih mau pacaran katanya," jawabku dengan hati yang berkecamuk.

Pernah suatu ketika aku meresahkan hal ini, ku utarakan pada Kang Dimas, tak ada tuntutan apalagi paksaan darinya, justru ia menjawab, "Enggak apa-apa, sayang, Allah mah pengen kita pacaran dulu." Aku mengangguk mendengar jawaban Kang Dimas. Jawaban yang terlontar dari bibirnya selalu berhasil membuatku tenang, meski aku tahu ia sudah ingin melihat sang buah hati meramaikan setiap sudut rumah kami. 
                                  ******

Lima tahun, enam tahun hingga kini delapan tahun sudah usia pernikahan kami, sang buah hati? Masih selalu dinanti, kehadirannya selalu aku impikan, di setiap sepertiga malam, wajah dan riangnya tawa mereka aku rindukan, ku sampaikan diam-diam pada Sang Pencipta, pemilik seluruh alam semesta. 

"Sayang..minggu depan Akang ada rencana kunjungan ke Surabaya, ada masalah dengan salah satu pabrik yang selama ini menerima pasokan hasil panen kita untuk diekspor ke Malaysia dan China," ucap Kang Dimas tiba-tiba.

"Berapa lama, Kang?" tanyaku.

"Satu minggu, Sayang,"

"Lama banget, Kang. Biasanya juga cuma 2 atau 3 hari?" tanyaku ketus.

Kang Dimas memang selalu melakukan perjalan setiap bulan, untuk menemui calon mitra yang ingin mengambil hasil perkebunan kami atau sekedar mengecek kantor-kantor yang bekerjasama guna mempererat tali silaturahmi antara kami sebagai supplier dengan mereka, tapi perjalanan Kang Dimas tidak pernah lebih dari dua atau tiga hari. Selama delapan tahun pernikahan, Kang Dimas yang memegang kendali untuk mencukupkan segala kebutuhan aku dan rumah tangga kami, alhamdulillah Allah memberikan rejeki yang luar biasa untuk keuangan kami, di tahun kedua pernikahan kami, Kang Dimas berhasil membeli puluhan hektar tanah di kota Tasik untuk dijadikan lahan perkebunan yang menjadi sumber penghasilan keluarga ini, alhamdulillahnya lagi, hasil perkebunan yang dikelola Kang Dimas bisa masuk ke pasar Internasional, menjadi jalan pundi-pundi yang cukup banyak untuk kami nikmati berdua.

Beberapa jam setelah Kang Dimas menyampaikan rencana perjalanan ke Surabaya yang akan dilakukannya, pikiranku jelas carut-marut sekarang, segala pertanyaan dan dugaan menari-nari di benakku, takut-takut hal yang tidak aku inginkan terjadi dalam hidupku dan pernikahanku, aku tahu betul, semua lelaki pasti menginginkan keturunan demi melanjutkan generasinya, tak terkecuali Kang Dimas. Aku khawatir, perjalanan Kang Dimas yang lama kali ini bukan perjalanan biasa. 

"Assalamu'alaikum, Ambu," ucapku di ujung telepon.

"Wa'alaikumussalam, Neng, tumben malam - malam begini nelpon Ambu," tanya wanita paruh baya yang telah menemaniku selama dua puluh lima tahun ini.

"Em..besok Kang Dimas mau berangkat ke Surabaya, Tyas boleh nginep di rumah Ambu dan Abah?" tanyaku ragu-ragu, karena selama aku menikah dengan Kang Dimas, bisa dihitung jari aku menginap di kediaman orangtua ku tanpa dirinya.

"Sudah izin dengan suami kamu? Sok izin dulu atuh..meskipun kamu mau nginep di rumah Ambu dan Abah, inget, Neng, kamu istri Dimas," nasehat Ambu terdengar di ujung sana.

"Iya, Ambu, nanti Tyas coba minta izin sama Kang Dimas," jawabku. Sambungan telepon itu terputus setelah Ambu menyadari ada seseorang yang mengetuk pintu rumah, Abah yang baru saja pulang dari kebiasannya mengaji setiap malam jumat di masjid.

Pagi ini, dengan wajah gusar dan hati yang tak karuan, aku mengantar Kang Dimas meninggalkan rumah ini untuk pergi ke Surabaya, selepas mengakhiri obrolan dengan Ambu via telepon, aku memberanikan diri untuk meminta izin pada Kang Dimas, alhamdulillah tanpa banyak pertanyaan Kang Dimas mengizinkan aku untuk menginap beberapa hari di rumah Ambu dan Abah dengan diantar oleh Mang Ujang, maka dari itu kali ini aku hanya mengantar Kang Dimas sampai depan pintu rumah, tak seperti biasa aku mengantarnya sampai ke bandara. 

"Kalau sudah sampai Surabaya, jangan lupa kabarin aku ya, Kang! Terus tiap malam harus video call, makan siang juga video call, setiap ada ketemuan dengan pelanggan atau klien jangan larut banget ya, Kang, batasnya sampai jam 9 aja ya, kang!" panjang lebar aku memberi peraturan untuk dipatuhi oleh Kang Dimas yang justru disambut dengan pelukan erat darinya, Kang Dimas membawa diriku masuk ke dalam pelukannya, diusap-usapnya punggungku dengan lembut, seolah dia tahu betul apa yang menjadi kegundahan sang istri. 

"Siap laksanakan ibu ketua!" celotehnya dengan tawa kecil yang bisa terdengar olehku meski tubuhku masih dalam dekapannya.

"Issh..akang ini mah, suka gitu ngeledekin Tyas terus," amukku sambil menepuk nepuk dada bidan Kang Dimas.

"Yasudah, Akang berangkat ya, Sayang," ucapnya sambi memberikan telapak tangannya untuk ku salam dengan takzim.

Bayangan mobil yang membawa belahan hatiku sudah tak nampak, hatiku semakin tak menentu. Kekhawatiran ini terus menggerogoti hati, belum sanggup rasanya aku kehilangan sosok suami seperti Kang Dimas. 

Dalam kegalauanku, seperti biasa, aku akan menuangkannya dalam buku harianku, semacam buku yang selalu aku isi tiap hati ini merasa sedang tidak baik-baik saja. Bukan hanya itu, buku ini juga menjadi tempatku mencurahkan segala impian serta harapan-harapan yang selalu aku langitkan. Siang ini sebelum berangkat menuju rumah Ambu dan Abah, beribu kata-kata seolah sudah ingin aku tumpahkan menjadi sebuah puisi yang suatu saat bisa aku baca kembali. 


Menantimu Datang

Ku kira perjalanan ini tlah usai
Melingkar permata di jari manis saksinya : berkilau tanpa celah
Ramainya pesta megah dihias singgasana mewah
Setelahnya ku arungi luas samudera biduk rumah tangga

Menantimu, menuntunmu datang bukanlah gampang
Di malam senyap ku mendekap tiap bait doa yang ku ucap
Ribuan harap perlahan lenyap : jalan kita masih panjang
Di persimpangan aku gamang

Jutaan detikku singkat : dibumbui pertanyaan sumbang yang menyayat
Ribuan mil berlari sembari tepuk dada sendiri
Masihkan panjang perjalanan ini?

Kapan engkau tiba dirumah?
Mengisi relung jiwa yang lara gundah
Dimana aku bisa menjemputmu?
Agar tak ada jalan berliku bagimu
Kemarilah, kami menunggumu ratusan minggu


Tok..tok..tok..

Fokusku terganggu saat Mang Ujang sudah berdiri di depan pintu masuk.

"Maaf, Neng. Kita berangkat jam berapa?" tanya Mang Ujang.

"Oh..satu jam lagi ya, Mang. Biar saya siap-siap dulu," jawabku sembari menutup buku harian yang sedari tadi menjadi pusat atensi.

"Baik, Neng," 

                                   ******

"Dimas kapan balik, Neng?" pertanyaan Ambu mengalihkan lamunanku yang sedari tadi duduk diam memandangi kolam ikan lele kepunyaan Abah.

"Lusa, Ambu. Katanya Kang Dimas mau jemput aku di sini," 

"Oh bagus itu, biar Ambu siap-siap, Ambu mau masak makanan kesukaan Dimas, pepes ikan teri, udang pete balado, gado-gado dan oncom hideung kesukaannya," seru Ambu yang terlihat sangat bersemangat mendengar sang menantu kesayangan akan datang.

"Ambu, Tyas laper banget, makan yuk," ajakku
"Hayuk atuh...Ambu udah masakin kamu rendang jengkol, goreng ikan asin peda dan rebus daun singkong," ujar Ambu

"Masya Allah..enak banget Ambu, Tyas mau makan jengkolnya," seruku kegirangan

Sejak kecil, Ambu selalu mengajarkan kami untuk makan semua jenin lauk pauk tanpa pernah memilih, tak heran rendang jengkol menjadi salah satu makanan favorit ku setelah pete balado. Hehehe.. Semuanya bau, yah 🤭

"Huweek..huweek...huweekk...Ambu ini ikan asin peda nya bau banget, Tyas gak kuat nyium baunya. Ambu beli di mana? Bukan di tempat teh Ocha langganan Ambu?" tanyaku memburu, tak pernah aku seperti ini sebelumnya. 

"Ah enggak bau atuh, Neng, ini mah dibelinya di tempat teh Ocha, kok." 

"Iya tapi Tyas gak bisa nyium baunya, Ambu, bau banget, mual pisan,"

"Eh..kamu teh meni aneh, enggak seperti biasanya, kamu udah dateng bulan, Neng?" tanyanya.

Deg! 

Ah, ya.. Sebulan ini aku belum pernah libur sholat, biasanya di pertengahan bulan sudah berhalangan dan libur ibadah, ini sudah akhir bulan kenapa belum dateng bulan? Gegas aku berlari menuju kamar mengambil alat tes kehamilan yang selalu aku simpan di mana pun, setiap bulan selalu aku stok jika sudah habis. Tanpa pikir panjang, aku lari menuju kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan dapur. 

"Neng, hati-hati licin lho!" ucap Ambu.

Tanganku bergetar, seluruh tubuhku berguncang, lutut terasa lemas, dua manik mataku berair, cepat aku keluar dari kamar mandi takut tak kuasa menopang berat tubuh dan justru ambruk di kamar mandi merepotkan seluruh penghuni rumah ini. 

"Allahuakbar, Allah...Allah..ya Allah..Alhamdulillah," segala puji-pujian terucap dari bibirku. Kaget, bahagia, tidak menyangka, bagai mimpi, tes kehamilan yang selama ini memberikan satu garis, kali ini DUA GARIS!! AKU HAMIL!!

"Neng, tenang neng, kenapa atuh?" tanya Ambu yang nampaknya belum melihat apa yang sedang aku pegang.

"Allahuakbar..Neng... Kamu teh hamil?? Ya Allah gusti, terima kasih telah mengabulkan doa-doa hamba," Ambu bersimpuh, sujud penuh syukur, haru. 

Tidak ada yang bisa menjelaskan semua yang kini aku rasakan, penantian panjang, kesabaran kami membuahkan hasil, hasil yang justru kami dapatkan saat hatiku benar-benar pasrah menunggu kehadiran malaikat kecil yang akan bermukim di rahimku. Dari semua nikmat yang telah Allah beri pada kami, nikmat yang tak pernah putus, rejeki yang mengalir terus, haruskah aku dan Kang Dimas menggerutu karena belum bisa memberi cucu? Allah Maha Adil, Allah Maha Mengetahui segala hal yang terbaik untuk hamba-NYA di saat yang tepat tanpa pernah salah alamat. 

TAMAT


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer