Cerbung : Sujud Terakhir Ayah (Part 6)

Juni 27, 2022
2 komentar
Assalamu'alaikum sobat HujanPena. Sudah seminggu saya enggak upload cerbung "Sujud Terakhir Ayah", ya. Rindu juga dengan keluarga pak Mahmud dan bu Mualimah..

Hari ini memasuki part 6 ya sobat HujanPena. Tak terasaa...

Akan kah rindu pak Mahmud berujung temu? 

⭐⭐⭐

Empat tahun sudah berlalu, kondisi keuangan keluarga pak Mahmud semakin membaik, karena kini pak Mahmud sudah mampu menyewa kios kecil di tengah pasar tradisional. Uang hasil jualan yang dikumpulkan oleh pak Mahmud mendapatkan berkah dari sang Maha Kuasa. Semua anak pak Mahmud dapat merasakan pendidikan yang lebih baik. Kini, Mumtaz sudah meyelesaikan studi SMP-nya dan hendak melanjut di SMK favoritnya, konon, SMK favoritnya memiliki jurusan tata busana yang sudah terkenal hingga ke penjuru kota bahkan sempat tampil di ajang internasional membawa karya siswa-siswinya. 

Mumtaz tumbuh menjadi gadis cantik nan sholeha, gadis yang takut akan agama namun tidak pernah lupa berkarya, bahkan, sejak duduk di bangku kelas dua SMP, ia sudah menerima beberapa jahitan pakaian tetangga, entah itu rok, atau sekadar mengecilkan baju yang kedodoran.

Perekonomian keluarga pak Mahmud pelan-pelan membaik, Allah memberikan limpahan rejeki untuk keluarga kecil ini, ditambah dengan rasa syukur yang selalu mereka tanamkan pada anak-anak mereka, Yusuf dan Mumtaz tidak pernah kekurangan apalagi iri dengan hal yang dimiliki orang lain. 

Bukan kah keluarga seperti pak Mahmud yang kita inginkan? Keluarga sederhana, rejeki yang datang menjadi berkah untuk sekeluarga. Tidak pernah merasa kufur nikmat, karena hatinya selalu dihinggapi syukur yang tak terukur. 

⭐⭐⭐

Assalamu'alaikum Ayah dan Ibu. 

Semoga, kabar Ayah dan Ibu baik-baik saja. Saat surat ini sampai ke tanah air, Hafiz pasti telah menyelesaikan sidang Hafiz, perjalanan pendidikan Hafiz berjalan dengan lancar, Yah, Bu. 
Maafkan Hafiz jarang menghubungi kalian, perbedaan waktu antara Indonesia dan Kairo serta kesibukan Hafiz menjadi penghalang komunikasi kita. Ini Hafiz kirim beberapa oleh-oleh untuk Ayah, Ibu, Mumtaz dan Yusuf. Semoga kalian suka. 
Oh ya, mungkin Hafiz akan kembali ke Indonesia tiga bulan ke depan, karena ada beberapa urusan administrasi yang harus diselesaikan sebelum kembali ke Indoneia. Hafiz sangat merindukan kalian. Semoga Allah lindungi selalu.. Aamiin allahummaa aamiin

Wassalamu'alaikum..

Tertanda
Hafiz.


Sepucuk surat dari Hafiz menjadi pertanda bahwa ia baik-baik saja, juga dengan pendidikannya. Sejak satu tahun yang lalu, kesehatan pak Mahmud menurun, ia lebih banyak tinggal di rumah dari pada berjualan di kios yang mereka sewa. Kios berukuran 3x3 selalu dijaga oleh bu Mualimah dan Mumtaz bergantian, Yusuf bertugas menemani sang ayah saat ibunda menjaga kios sebelum diganti kan oleh Mumtaz sepulang sekolah. 

Kabar kesehatan pak Mahmud masih dirahasiakan dari Hafiz, bukan tanpa alasan, mereka hanya tidak mau Hafiz merasa terganggu, kepikiran akan keadaan sang Ayah. 

Bukan pekara mudah menjadi anak perantauan, juga bagi keluarga yang ditinggalkan, semua kisah sedih memilukan harus ditutup rapat demi asa hingga akhir. Demi kebaikan, keadaan pak Mahmud dirahasiakan. 

Dalam satu tahun belakangan, pak Mahmud bahkan sudah tiga kali keluar masuk rumah sakit. Diagnosa dokter, pak Mahmud mengidap asam lambung kronis dan diabetes. Seringnya menunda jam makan, serta stress yang dirasa pasca sang ananda pergi merantau menjadi penyebabnya. Pak Mahmud bukannya tidak rela sang anak merantau menimba ilmu, namun, seperti kekhawatiran orang tua pada umumnya, ia hanya takut sang anak kekurangan uang, kurang istirahat karena capek sekolah. 
Padahal, setiap anak yang memutuskan untuk merantau pasti sudah mempersiapkan diri mereka dengan baik, bukan? Kita sebagai orang tua cukup mendoakan yang terbaik. 

⭐⭐⭐

Pagi menyongsong sang mentari, seperti biasa, semua beraktivitas seperti biasa, Yusuf dan Mumtaz pergi sekolah, pak Mahmud beserta istri bersiap juga untuk membuka kios miliknya. 

"Assalamu'alaikum ayah, ibu.." ucap seorang pemuda dengan suara yang tak asing lagi. 

Mualimah yang sedang bersiap-siap mengeluarkan barang dagangan menoleh, mendongakan kepala mencari asal suara itu, "Waalaikumsaaalaaam..." sahut Mualimah dengan ekspresi terkejut melihat siapa sang pemberi salam. "Ya Allah....Hafiizz," Mualimah meninggalkan barang dagangannya, berlari mendekati sang anak lelaki, tak di sangka Hafiz tiba di rumah tanpa kabar sebelumnya. 

"Ayah...ayah....coba lihat siapa yang datang," seru bu Mualimah

"Siapa sih, Bu?" pak Mahmud yang sedang bersiap diri di dalam kamar, seketika menuju ke sumber suara, ia terharu, tak terasa menetes air mata pak Mahmud, sosok ayah dan suami yang selalu berusaha kuat di depan anak-anaknya, nyatanya tak akan pernah mampu menahan rindu ratusan minggu pada sang anak. 

Suasana pagi itu mengharu biru, wajar saja. Hafiz sudah melewatkan empat kali lebaran dan empat kali puasa bersama keluarganya. Pagi itu menjadi pagi yang istimewa bagi keluarga pak Mahmud. 

⭐⭐⭐

Sebulan berlalu, perlahan kesehatan pak Mahmud juga membaik, tidak lagi melanjutkan konsumsi obat-obatan, tidak lagi kontrol ke dokter, ataupun sakit dan diam di rumah seperti biasa. 

Kepulangan Hafiz kali ini membawa dampak baik untuk pak Mahmud pribadi. Ia seolah kembali menjadi suami yang penuh tanggung jawab, selalu ada untuk keluarga dan kian aktif di berbagai acara keagamaan lainnya. 

Hingga suatu hari, pak Mahmud dan Hafiz menghadiri sebuah perhelatan akbar acara keagamaan memperingati maulid Nabi Muhammad sallahuaalaihi wassalam. Hafiz membawa ayahnya ikut serta, karena kebetulan, para pengurus senior di BKM mesjid Raya ini adalah teman-teman pak Mahmud. 

Jarak tempuh cukup jauh, sekitar satu jam perjalan, sepanjang perjalanan Hafiz tidak banyak berbincang dengan ayahnya, ia hanya fokus menyetir guna perjalanan yang dilalui selamat sampai tujuan. 

Sesampainya di lokasi, Hafiz disambut dengan penuh hormat, bagi mereka yang mengenal Hafiz, berbondong untuk mendapatkan berkah dengan menyalami Hafiz dengan takjim, tentu..hanya dilakukan oleh para jamaah lelaki, mereka yang tidak mengetahui siapa sosok yang berjalan dibelakang Hafiz merasa tidak perduli, semua berebut untuk dapat menyalami Hafiz dengan takjim, pak Mahmud tentu merasa terabaikan, belum lagi aksi saling dorong pun terjadi, membuat tubuh rentanya lemas, untung, dalam kondisi itu, salah seorang dari panitia yang juga teman pak Mahmud cepat menyelamatkannya dari kerumunan manusia, jika tidak, bisa-bisa pak Mahmud ambruk di tengah mereka. 

Seluruh rangkaian acara berjalan dengan baik, tempat duduk pak Mahmud tidak berdampingan dengan sang putra, pak Mahmud duduk di deretan para jamaah lainnya, sedang sang anak duduk di deretan paling depan, menjadi tamu kehormatan, berdampingan dengan para petinggi pemilik kewenangan. 

Hafiz juga nampaknya tidak begitu mencari keberadaan sang ayahanda, ia disibukkan oleh percakapan para petinggi yang berhadir pada acara itu. Hingga ia lupa di mana sang ayah duduk. 

Hampir semua para jamaah dan tamu undangan khusus meninggalkan lokasi acara, tinggal lah panitia yang berjaga dan juga jamaah yang tersisa beberapa. 

"Masyaa Allah tabarakallahu Hafiz, ana tidak menyangka bahwa antum yang membawa dakwah hari ini, masyaa Allah...masyaa Allah, tidak menyesal saya hadir siang hari ini. Dengan siapa antum datang?" tanya seorang lelaki yang merupakan salah satu teman Hafiz saat masih di pesantren dulu.

"Ana sendirian ke sini, antum dengan siapa?" jawab Hafiz, seolah ia lupa membawa sang ayah turut serta. Tanpa sepengetahuan Hafiz, pak Mahmud yang baru selesai membersihkan diri-membasuh wajah di kamar mandi dan berada tidak jauh dari Hafiz tidak sengaja mendengar jawaban sang putra tercinta. 

Pertanyaan muncul dalam benaknya, "Mengapa Hafiz harus berbohong, ya? Apa dia lupa kalau mengajak saya hari ini?" batin pak Mahmud.

Mendengar percakapan sang anak, serta jawabannya, ia mengurungkan niat untuk menemui Hafiz, berencana untuk mengajaknya pulang, mengingat perjalanan cukup jauh. Ia berbalik badan, pergi menjauh dari sang putra, dengan langkah gontai ia bertemu dengan rekan-rekannya, sekadar mengucapkan pamit pada mereka sebelum akhirnya mereka membantu pak Mahmud menunggu angkutan umum menuju rumahnya. 

Pertanyaannya, apa kah rekan-rekan pak Mahmud tidak mengetahui jika Hafiz adalah anaknya? Tidak. Hafiz yang sejak SMP sudah dimasukkan ke pesantren dan melanjutkan studi di Kairo membuat pak Mahmud jarang memperkenalkan Hafiz pada rekan-rekannya, apalagi rekan yang jauh dan jarang bertemu, hanya di momen tertentu. Wajar, jika banyak dari mereka yang tidak mengenal Hafiz adalah anak pak Mahmud-sang penjual sarung dan mukena di pekanan Selasa dan Sabtu. 

Sesampai di rumah, Mualimah yang menyambut kedatangan pak Mahmud merasa ada yang aneh. Sejak pulang, pak Mahmud tidak banyak bicara, bahkan jika ditanya, "Hafiz mana, Yah? Kok enggak pulang bareng?" Mahmud hanya diam dan berlalu menuju kamar mereka. 

Bagi orang tua, hal yang paling menyakitkan adalah tidak dianggap oleh sang anak. Anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, dinantikan kehadirannya, kepulangannya, kabarnya, tetapi kini seolah lupa dari mana ia berasal, seolah malu memperkenalkan sang ayah saat semua orang memujinya. 

Bukan harta yang diminta, bukan pula minta dibalaskan seluruh jasanya dengan harta yang dipunya. Orang tua hanya ingin bahagia, ikut berbangga diperkenalkan sang anak kepada dunia. Anak yang dirawat sedemikian rupa, dengan seluruh jiwa dan raga. 

                             Foto : Pinterest

⭐⭐⭐


Berlanjut di Rabu ya sobat HujanPena. 

Wassalamua'alaikum..

Semoga mendapat hikmah dan pesan moral dari cerita hari ini. 






Komentar

  1. MasyaAlalh, mba, luar biasa patut jadi novel, nih, semoga yaa. Harus baca dari yg pertama yaa...biar nyambung gitu ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, mba..

      Iya mba, harus dibaca dari awal, biar runut tahu perjalanan ceritanya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer