[ Cerbung] Kepulangan Si Sulung

Juni 08, 2022
3 komentar
#SujudTerakhirAyah #Part3


Seorang anak, saat masih kecil, amat membutuhkan kedua orang tuanya, namun, ketika mereka perlahan beranjak dewasa, akankah masih membutuhkan orang tuanya?

Saat kita masih kecil, orang tua mengajari kita banyak hal dengan sabar, mengajari berjalan, berbicara, makan, dan lain-lain, lalu ketika kita beranjak dewasa, akankah kita se sabar mereka?

Kita sering merasa lebih pintar dari orang tua kita, hingga kita lupa bahwa mereka lah yang membuat kita menjadi pintar seperti saat ini. 

                           ðŸ’”💔💔💔

Dua bulan lagi, Hafiz akan keluar dari pondok pesantren pilihan kedua orang tuanya, hampir enam tahun ia menjalani hari-hari sebagai santri, suka maupun duka ia rasakan, namun, segala pengertian diberikan padanya, ada Pak Mahmud yang senantiasa mengunjunginya setiap minggu, kadang mengunjungi seorang diri, kadang pula memboyong serta anak dan istri, yang pasti, ia tidak pernah absen untuk melihat perkembangan sang putra juga kebutuhannya selama di sana. 

Dua bulan lagi, habis lah masa pendidikan Hafiz, kini ia pun telah mampu menghafal sebanyak 30 juz, ia telah berhasil menjadi seorang penghafal Al-qur'an sesuai dengan impian orang tuanya, bahkan tiap Hafiz kembali ke rumah untuk merayakan idul fitri bersama keluarga, Hafiz selalu mendapat berbagai tawaran dari beberapa pengurus masjid untuk sekedar menjadi imam shalat atau memberi ceramah selepas shalat. Hafiz telah berhasil menaikkan derajat keluarganya. 

Mengetahui anak sulung akan segera kembali ke rumah, segala persiapan dilakukan oleh Pak Mahmud, beliau sengaja membuat acara syukuran untuk kedatangan sang anak, dengan mengundang para anak yatim piatu dan kaum dhuafa lainnya. 

"Semua sudah diundang, Yah?" ujar Mualimah yang datang dari arah dapur menuju ruang tengah di mana sang suami tengah sibuk membungkus bingkisan yang akan diberikan pada anak-anak yatim piatu.

"Sudah alhamdulullah, Bu, tinggal beberapa lagi, insyaa Allah ada Pak Basri yang membantu menyampaikan," jawab Mahmud sambil terus menata bingkisan - bingkisan berupa sarung dan mukena.

"Teman kamu yang katanya mau masuk pondok sudah dikabarin, Mumtaz?" tanya Mualimah pada sang anak gadis-Mumtaz Rasyida- yang sedang menata kursi ruang tamu. 

Mumtaz kini duduk di bangku kelas dua SMP, ia tidak memilih untuk melanjutkan studi setelah sekolah dasar sebagai santri, Mumtaz melanjutkan sekolahnya di SMP swasta yang berada tidak jauh dari rumah, semua itu keinginan Mumtaz sendiri yang tidak ingin jauh dari kedua orang tuanya, bahkan saat lulus SMA nanti ia sudah berencana untuk mengambil kursus menjahit saja. 

"Sudah, Bu, Fatimah akan kesini bersama kedua orang tuanya," sahut Mumtaz.

Jarak antara Hafiz, Mumtaz dan Yusuf terbilang cukup jauh, yaitu empat tahun, serta intensitas bertemu pasca Hafiz nyantri terbilang cukup jarang, maka dari itu antara Mumtaz, Hafiz dan Yusuf tak begitu akrab, Mumtaz lebih akrab dengan Yusuf, karena ia lah yang merawat Yusuf sedari kecil saat sang Ibu membantu sang Ayah berjualan. 

Saat Hafiz pulang pun, Hafiz lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk menjaga dan mengulang-ulang hafalannya serta menghadiri undangan dari beberapa BKM di sekitar rumahnya.

"Ibu..ibu..Yusuf boleh makan pisang yang ada di dapur?" kali ini Yusuf bertanya, saat ini Yusuf sedang duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. 

"Boleh, sayang, ambil satu dulu, ya, kalau mau lagi, baru ambil satunya lagi, jangan langsung banyak, nanti mubazir," jawab Mualimah

"Iya, Bu," jawab Yusuf sambil berlari kegirangan menuju dapur.

Keluarga Pak Mahmud sangat sederhana, mereka selalu mengajarkan nilai-nilai agama pada sang anak, mulai dari Hafiz kecil hingga Yusuf tak luput dari pengawasan dan pengajarannya, nilai-nilai agama selalu terasa dalam setiap aktivitas mereka. 

                               ðŸ’”💔💔💔

"Wah..Pak Mahmud hebat ya Bu Tejo, anaknya jadi Ustadz lho sekarang," bisik Bu Ningsih, langganan mukena Pak Mahmud yang turut hadir memenuhi undangan syukuran kepulangan Hafiz. 

"Ah..biasa aja Bu Ningsih, semua orang bisa kok jadi Ustadz asal dia mau, lagi pula nih ya saya kasih tau, sekarang banyak banget sekolah-sekolah tahfidz, sekolah umum juga ada kok yang mengusung program tahfidz ini, tapi enggak semua tuh bisa jadi Ustadz, kadang-kadang mereka justru tidak sesuai dengan apa yang mereka dalami selama di pondok," sanggah Bu Tejo dengan muka masamnya, siapa yang tidak kenal watak Bu Tejo, sang tuan tanah di kampung namun suka sekali mencampuri, mengomentari perihal hidup orang lain, seluruh kampung paham betul watak Bu Tejo. 

"Ya.. Wallahu'alam itu, Bu, yang pasti tidak semua anak mau lho masuk pesantren, Hafiz hebat nih," tutur Bu Ningsih menambahkan dan tak mau kalah atas pernyataan Bu Tejo.

Memang yah, Bu Tejo dan Bu Ningsih ini bestie sejati, ibarat kehidupan, ada sisi gelap, ada sisi terang, saat Bu Tejo julid, ada Bu Ningsih yang menetralkan, meski tak jarang mereka kompak sekali judilin orang, hahaha...

"Assalamu'alaikum, Ayah, Ibu," ucap Hafiz dari kejauhan yang langsung disambut pelukan oleh kedua orang tua dan adik-adiknya, rasa haru dan rindu menjadi satu. 

"Alhamdulillah anak Ayah sudah selesai jadi santri, sekarang saatnya mengabdi, Nak," ujar Mahmud sambil menepuk-nepuk bahu sang anak, matanya berbinar sekali hari ini, hingga terlihat tetesan bening keluar dari sumbernya. 

"Insyaa Allah, Ayah, Ibu, Hafiz tak akan lupa jasa-jasa Pak RT dan Bu RT yang telah banyak membantu Hafiz hingga akhirnya bisa masuk dan menyelesaikan studi di pondok," jawab Hafiz yang tak dapat menyembunyikan rasa harunya. 

"Ayuk masuk dulu, kok malah ngobrol di luar, anak-anak yatim sudah pada nungguin," tutur Mualimah menyudahi haru-biru antara ayah dan anak.

Semua tamu undangan menikmati hidangan sederhana yang disediakan oleh tuan rumah, ada nasi serta lauk pauk, dan beberapa buah-buahan, meski sederhana, semua tamu khidmat mengikuti setiap rangkaian acara hingga selesai. 

                               ðŸ’”💔💔💔

"Ayah, Ibu, ada yang mau Hafiz omongkan," ujar Hafiz memecah keheningan makan malam mereka.

"Apa yang mau kamu sampaikan, Nak?" tanya Mahmud menyambut percakapan sang anak.

"Hafiz, mau kuliah ke Kairo, Yah," ujar Hafiz to the point.

Mendengar keinginan sang anak, Mahmud dan Mualimah saling pandang, langsung terbayang oleh mereka akan kehilangan sosok si Sulung di tengah keluarga, belum lagi biaya yang tidak sedikit. 

"Kamu yakin?" Mualimah kini bertanya mengurai rasa gundahnya

"Yakin, Bu. Selama satu bulan Hafiz balik ke kampung, Hafiz merasa bosan, sumpek, yang dilihat itu-itu saja, setiap Senin dan Kamis membantu Ayah berjualan, Jumat mengisi khutbah di Masjid, Sabtu dan Ahad mengisi kajian kampung, Hafiz bosan, Bu, Hafiz ingin memperdalam ilmu yang telah Hafiz miliki di pesantren, seperti teman-teman Hafiz yang langsung melanjutkan studi S-1 di Kairo," Hafiz menjelaskan panjang lebar.

"Bukan Ayah tidak mendukung cita-citamu, Nak, tapi lihat lah kondisi keuangan kita, masih ada Mumtaz dan Yusuf yang harus Ayah sekolahkan, dan biaya mereka juga tidak sedikit, tahun depan, Mumtaz akan naik kelas tiga dan tamat, otomatis Ayah harus mempersiapkan biaya untuk masuk SMA," tutur Mahmud.

"Ada jalur beasiswa kok, Yah, Ayah tolong mengerti, sekarang jaman sudah berubah, Ayah, sudah banyak ilmu dan info bertebaran di mana-mana, menuntut ilmu ini penting, Yah, bahkan ada dalam sebuah hadist yang mengatakan "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR Muslim, no. 2699). " Hafiz tetap pada pendiriannya

"Iya..Ayah tau..tapi...," 

"Sudah..sudah..nanti saja kita bahas soal ini, sekarang makan dulu, habiskan makanannya, ayo Yusuf, habiskan makanannya, Mumtaz tambah lagi tempe gorengnya?" belum selesai Mahmud berbicara, Mualimah menyudahi obrolan Mahmud dan Hafiz, kini ia mengalihkan pembicaraan dengan menaruh atensi pada Mumtaz dan Yusuf yang sedari tadi tetap tenang menyantap makan malam mereka tanpa mengerti apa yang sedang dibahas oleh Ayah dan Kakaknya.

                               ðŸ’”💔💔💔

Bersambung

Komentar

  1. Menarik, anak pertama begitu ambisius juga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak semua sih, tapi kebanyakan begitu kak Reza.

      Hapus
  2. Konflik yang menarik di sini. Ternyata tidak seperti harapan Pak Mahmud yang menginginkan Hafiz langsung mengabdi. Tapi malah meninggalkan keluarganya untuk menuntut ilmu. Apakah ini ego? Atau Hafiz yang kurang paham dengan kondisi keluarganya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer