Mempelajari Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan Lewat Buku “Ketika Saatnya”
Maret 06, 2023
18 komentar
Buku Ketika Saatnya karya Darmawati Majid seolah menjadi jendela pembuka cakrawala budaya masyarakat Sulawesi Selatan dalam mempertahankan harkat dan martabat seorang wanita.
Ketika Saatnya adalah kumpulan cerpen yang berisi 13 cerita yang secara tidak langsung merepresentasikan budaya, mitos, karakter serta struktur sosial perempuan di mata masyarakat Bugis.
Berisi 143 halaman dengan desain yang menarik yaitu hanya selebar telapak tangan orang dewasa, buku Ketika Saatnya berhasil membuatku mengangguk tanda setuju tiap kali larut dalam tiap helainya.
“Aku tidak pernah menyangka akan dihadapkan pada situasi sulit seperti ini : menyelamatkan nama baik keluarga atau memperturutkan kata hati. Namun, siapa yang dapat menebak jalannya takdir?” (Passampo Siri’ – hal. 50)
Passampo Siri’ yang artinya penutup aib keluarga, terpaksa harus dialami Andi Ida karena tak dapat menentang permintaan sang Ayahanda. Mencintai seorang pemuda biasa tanpa uang panaik yang sepadan hanya akan menjadi dongeng penghantar tidur.
Andi Ida dirundung kesialan, sebuah keluarga terpandang telah membuat janji dengan keluarganya untuk menikahkan saudara kembarnya Andi Ira. Sayang, takdir berkata lain, Andi Ira pergi begitu saja dengan lelaku pujaannya dengan kawin lari. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah akhir nasib Andi Ida, lelaki Bernama Anto yang bersemayam dalam hatinya tak mampu ia rengkuh. Adat dan martabat keluarga bagi masyarakat Bugis adalah utama.
Wanita ketika telah dewasa tidak lagi memiliki banyak pilihan selain menerima takdir di depan mata. Tebalnya dinding adat menjadi penyebabnya. Wanita berpendidikan dengan harga diri yang tinggi tidak akan tega mencoreng arang di wajah kedua orangtuanya. Biarlah ia menjadi pilu tergores sembilu.
“Bagimu, pernikahan adalah pengabdian seumur hidup. Kesetiaan dan kejujuran adalah pengikatnya. Bukankah itu gunanya bunga nagka dan daun pacar hadir dalam ritual pernikahan kami dulu? Perlambang kejujuran? Penuntut janji setia?” (Tentang Hal yang membawamu ke Sebuah Warung Coto di Pinggiran Kota pda Suatu Hari Sekitar Pukul 10 Pagi, hal : 8)
Wanita yang telah menikah, memberi seluruh hidupnya pada sang suami. Lantas ketika suami berpaling ke lain hati? Wanita Bugis punya cara sendiri untuk mempertahankan kapal yang sebentar lagi karam. Bukan pekara mudah. Namun, itulah pembeda.
Keenam cerita pendek tersebut memiliki tugasnya masing-masing. Perempuan yang Terkunci Pintu Jodohnya merupakan cerminan kehidupan masyarakat kita tidak hanya di Sulawesi yang melihat seorang gadis belum menikah seolah menjadi sebuah masalah hingga beragam mitos ditautkan kepadanya. Dikemas secara apik dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga membuat siapapun yang membacanya turut menyayangkan cara berpikir masyarakat kebanyakan.
Berhenti sampai disitu? Tidak. Dinamika kehidupan perempuan dalam struktur sosial masyarakat masih kental dengan istilah “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya akan berhenti di Kasur, dapur, dan sumur?”
Kisah Buat Apa Sekolah? menjadi perwakilan keresahan ini. Dikisahkan seorang gadis Bernama Sidar yang ingin sekali melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Namun sayang, lagi-lagi adat menghalangi, keluarga besar tak merestui kecuali ayah kandung sendiri, Petta Tiro.
Pertentangan dan perdebatan menghantarkan Sidar untuk tetap melanjutkan pendidikannya meski satu kampung mencibirnya. Keluarga Petta Tiro percaya kelak Sidar akan membawa perubahan untuk keluarganya, untuk kampung halamannya. Bagi mereka, laut telah menghidupi keluarga mereka sekian lama, memberi kemakmuran bagi keluarga. Sekolah sekadar tanda hormat ke pemerintah desa yang sudah susah payah membangun sekolah dan menengah.
Perubahan akhirnya benar terjadi, Sidar membawa perubahan untuk perekonomian kampungnya, ilmu yang ia pelajari menggugah dirinya untuk mengolah hasil laut yang Tuhan limpahkan menjadi komoditas jual yang baru meski keluarga masih mencibir diam-diam tidak rela menerima kenyataan.
Sulawesi Selatan terkenal dengan keanekaragaman budaya di dalamnya, bahkan hingga saat ini, 2023. Masyarakat Bugis tetap menjaga kelestarian budaya nenek moyang. Keteguhan inilah akhirnya menciptakan image positif bagi perempuan Bugis.
Perempuan Bugis sangat terjaga. Tidak sembarang orang dapat memilikinya. Mereka bertugas menjaga nama baik keluarga hingga akhir hayatnya.
Lalu pertanyaanya, apakah perempuan dilahirkan kemudian dibesarkan hanya untuk menjadi ‘pelayan’ untuk suami semata sehingga terasa janggal jika ingin berpendidikan tinggi?
Atau bisa jadi perempuan sengaja dibiarkan berpendidikan tinggi agar kelak uang mahar yang diterima keluarga juga sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan?
Atau yang lebih parahnya lagi, stigma kebanyakan masyarakat yang enggan meminang seorang perempuan berpendidikan tinggi hingga menimbulkan masalah baru karena dianggap terhalang jodohnya dan menjadi perawan tau?
Semua pertanyaan di atas tidak akan pernah terjawab jika kultur patriarki masih tertanam dalam kebudayaan tak tertulis masyarakat Indonesia.
Kisah-kisah yang coba kak Darmawati Majid sampaikan dalam bukunya yang berjudul Ketika Saatnya hanya segelintir bukti nyata kehadiran perempuan dalam struktur sosial yang selalu dikesampingkan. Meski kenyataanya, peranan perempuan begitu penting dalam tatanan struktur sosial kehidupan dari berbagai sisi.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika seorang perempuan tidak lagi menjaga harkat dan martabat keluarga? Bagaimana perempuan dapat menjaga dan mendidik generasinya tanpa pendidikan yang mumpuni, dan bagaimana jadinya jika seorang perempuan tak memiliki kesabaran seluas lautan? Bisa dibayangkan kehancuran generasi menanti di depan mata.
Sekali lagi, buku Ketika Saatnya bukan sekadar kumpulan cerpen bagi saya. Pantas jika beberapa cerita di dalamnya mendapat banyak penghargaan. Buku ini mengajarkan sekaligus mengingatkan saya bahwa tugas sebagai perempuan Bugis maupun perempuan Indonesia sungguhlah besar.
Penulis : Darmawati Majid
Desaigner : Aditya Putra
Penata Letak : Teguh Tri Erdyan
Penyunting : Udji Kayang
Halaman : 143
ISBN : 978-602-481-139-6
Penerbit : KPG
Ketika Saatnya adalah kumpulan cerpen yang berisi 13 cerita yang secara tidak langsung merepresentasikan budaya, mitos, karakter serta struktur sosial perempuan di mata masyarakat Bugis.
Berisi 143 halaman dengan desain yang menarik yaitu hanya selebar telapak tangan orang dewasa, buku Ketika Saatnya berhasil membuatku mengangguk tanda setuju tiap kali larut dalam tiap helainya.
Ketika Saatnya : Bacaan Penuh Makna, Adat & Budaya
Beberapa judul sengaja dituliskan oleh kak Darmawati Majid sebagai upaya memperkenalkan budaya serta adat yang kental juga terjaga di Sulawesi Selatan.“Aku tidak pernah menyangka akan dihadapkan pada situasi sulit seperti ini : menyelamatkan nama baik keluarga atau memperturutkan kata hati. Namun, siapa yang dapat menebak jalannya takdir?” (Passampo Siri’ – hal. 50)
Passampo Siri’ yang artinya penutup aib keluarga, terpaksa harus dialami Andi Ida karena tak dapat menentang permintaan sang Ayahanda. Mencintai seorang pemuda biasa tanpa uang panaik yang sepadan hanya akan menjadi dongeng penghantar tidur.
Andi Ida dirundung kesialan, sebuah keluarga terpandang telah membuat janji dengan keluarganya untuk menikahkan saudara kembarnya Andi Ira. Sayang, takdir berkata lain, Andi Ira pergi begitu saja dengan lelaku pujaannya dengan kawin lari. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah akhir nasib Andi Ida, lelaki Bernama Anto yang bersemayam dalam hatinya tak mampu ia rengkuh. Adat dan martabat keluarga bagi masyarakat Bugis adalah utama.
Wanita ketika telah dewasa tidak lagi memiliki banyak pilihan selain menerima takdir di depan mata. Tebalnya dinding adat menjadi penyebabnya. Wanita berpendidikan dengan harga diri yang tinggi tidak akan tega mencoreng arang di wajah kedua orangtuanya. Biarlah ia menjadi pilu tergores sembilu.
“Bagimu, pernikahan adalah pengabdian seumur hidup. Kesetiaan dan kejujuran adalah pengikatnya. Bukankah itu gunanya bunga nagka dan daun pacar hadir dalam ritual pernikahan kami dulu? Perlambang kejujuran? Penuntut janji setia?” (Tentang Hal yang membawamu ke Sebuah Warung Coto di Pinggiran Kota pda Suatu Hari Sekitar Pukul 10 Pagi, hal : 8)
Wanita yang telah menikah, memberi seluruh hidupnya pada sang suami. Lantas ketika suami berpaling ke lain hati? Wanita Bugis punya cara sendiri untuk mempertahankan kapal yang sebentar lagi karam. Bukan pekara mudah. Namun, itulah pembeda.
Kisah-Kisah Pilihan dalam Buku Ketika Saatnya
Hampir semua cerita pendek karya Darmawati Majid membekas dalam hati. Akan tetapi, yang terbaik di antara yang terbaik akan tetap ada. Untuk saya, Perempuan yang Terkunci Pintu Jodohnya, Passampo Siri’, Losari, Uang Panaik, Ketika Saatnya, dan Buat Apa Sekolah? Menjadi best of the best di antar ke 13 cerpen karya seorang wanita asal Bone, kawasan pesisir timur Sulawesi Selatan.Keenam cerita pendek tersebut memiliki tugasnya masing-masing. Perempuan yang Terkunci Pintu Jodohnya merupakan cerminan kehidupan masyarakat kita tidak hanya di Sulawesi yang melihat seorang gadis belum menikah seolah menjadi sebuah masalah hingga beragam mitos ditautkan kepadanya. Dikemas secara apik dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga membuat siapapun yang membacanya turut menyayangkan cara berpikir masyarakat kebanyakan.
Berhenti sampai disitu? Tidak. Dinamika kehidupan perempuan dalam struktur sosial masyarakat masih kental dengan istilah “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya akan berhenti di Kasur, dapur, dan sumur?”
Kisah Buat Apa Sekolah? menjadi perwakilan keresahan ini. Dikisahkan seorang gadis Bernama Sidar yang ingin sekali melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Namun sayang, lagi-lagi adat menghalangi, keluarga besar tak merestui kecuali ayah kandung sendiri, Petta Tiro.
Pertentangan dan perdebatan menghantarkan Sidar untuk tetap melanjutkan pendidikannya meski satu kampung mencibirnya. Keluarga Petta Tiro percaya kelak Sidar akan membawa perubahan untuk keluarganya, untuk kampung halamannya. Bagi mereka, laut telah menghidupi keluarga mereka sekian lama, memberi kemakmuran bagi keluarga. Sekolah sekadar tanda hormat ke pemerintah desa yang sudah susah payah membangun sekolah dan menengah.
Perubahan akhirnya benar terjadi, Sidar membawa perubahan untuk perekonomian kampungnya, ilmu yang ia pelajari menggugah dirinya untuk mengolah hasil laut yang Tuhan limpahkan menjadi komoditas jual yang baru meski keluarga masih mencibir diam-diam tidak rela menerima kenyataan.
Perempuan dalam Struktur Sosial Masyarakat Bugis
Perempuan Bugis sangat terjaga. Tidak sembarang orang dapat memilikinya. Mereka bertugas menjaga nama baik keluarga hingga akhir hayatnya.
Lalu pertanyaanya, apakah perempuan dilahirkan kemudian dibesarkan hanya untuk menjadi ‘pelayan’ untuk suami semata sehingga terasa janggal jika ingin berpendidikan tinggi?
Atau bisa jadi perempuan sengaja dibiarkan berpendidikan tinggi agar kelak uang mahar yang diterima keluarga juga sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan?
Atau yang lebih parahnya lagi, stigma kebanyakan masyarakat yang enggan meminang seorang perempuan berpendidikan tinggi hingga menimbulkan masalah baru karena dianggap terhalang jodohnya dan menjadi perawan tau?
Semua pertanyaan di atas tidak akan pernah terjawab jika kultur patriarki masih tertanam dalam kebudayaan tak tertulis masyarakat Indonesia.
Kisah-kisah yang coba kak Darmawati Majid sampaikan dalam bukunya yang berjudul Ketika Saatnya hanya segelintir bukti nyata kehadiran perempuan dalam struktur sosial yang selalu dikesampingkan. Meski kenyataanya, peranan perempuan begitu penting dalam tatanan struktur sosial kehidupan dari berbagai sisi.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika seorang perempuan tidak lagi menjaga harkat dan martabat keluarga? Bagaimana perempuan dapat menjaga dan mendidik generasinya tanpa pendidikan yang mumpuni, dan bagaimana jadinya jika seorang perempuan tak memiliki kesabaran seluas lautan? Bisa dibayangkan kehancuran generasi menanti di depan mata.
Sekali lagi, buku Ketika Saatnya bukan sekadar kumpulan cerpen bagi saya. Pantas jika beberapa cerita di dalamnya mendapat banyak penghargaan. Buku ini mengajarkan sekaligus mengingatkan saya bahwa tugas sebagai perempuan Bugis maupun perempuan Indonesia sungguhlah besar.
Deskirpsi Buku :
Judul : Ketika SaatnyaPenulis : Darmawati Majid
Desaigner : Aditya Putra
Penata Letak : Teguh Tri Erdyan
Penyunting : Udji Kayang
Halaman : 143
ISBN : 978-602-481-139-6
Penerbit : KPG
Bagus banget idenya, memperkenalkan budaya lewat cerpen. Ini bisa saya tiru buat proyek saya ke depannya.
BalasHapusSaya jadi penasaran sama semua ceritanya. Pernah ketemu temen kerja dari Sulawesi juga. Tapi belum sempat cerita banyak dianya
BalasHapusMembaca cerpen yang ceritanya tentang realita memang selalu menyenangkan. Membuat kita terhanyut dalam cerita. Review yang keren Kak
BalasHapusWaah jadi penasaran sama ceritanya. Cerpennya tentang realita yaa yg pasti terasa menyenangkan. Thanks ka sudah shariing
BalasHapusIndonesia dengan beragam suku dan beribu kebudayaan memiliki nilai luhur di dalamnya. Wanita yang menjunjung tinggi martabatnya menjadi salah satu cerminan budaya berkelas warga Indonesia.
BalasHapusKalo ngomong budaya apalagi di bagian timur, udah deh makin bikin bangga dengan Indonesia. Sy riil bulan ini aja di lagi ada kerjaan di NTB lihat pantai2nya keren-keren banget.
BalasHapusJadi pengen Bisnis atau Jualan hahaha karena banyak peluang
Sungguh, sebuah ulasan buku yang amat menarik. Saya belajar banyak dari tulisan ini. Terima kasih banyak kak.
BalasHapuskeren kak ulasanya menjadi punya pandangan baru terkait perempuan dalam struktural masyarakat bugis
BalasHapusBuku kaya gini bagus banget, apalagi pengenalan lebih dekat ke budaya Indonesia khususnya luar Jawa. Selama ini, banyak baca buku literasi dan jarang menemukan buku atau kisah adat luar pulau Jawa. Dan kisah di cerpennya ini menarik banget ❤️
BalasHapusPerempuan dibahas dalam satu buku full dari kacamata masyarakat Bugis ini cukup menarik ya.. Sehingga membuat kita semua merasakan bagaimana diskriminasi dan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan perempuan masa kini.
BalasHapusWow! Gak nyngka banget ya ternyata ada banyak hal yang diceritakan dalam buku ini. Wajib baca nih!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBudaya Bugis mengagumkan ya! Sepertinya ini adalah salah satu buku layak baca, bahkan untuk anak sekolaj
BalasHapusWah...menarik sekali ulasannya. Buku ini memperkenalkan budaya sekaligus membawa pembaca melihat bagaimana wanita bugis dipandang dalam masyarakat yang ada.
BalasHapusSaya lahir di Bugis. Kalau mau jalan-jalan kesana, kabar-kabari saya saja.
BalasHapusMenarik sekali mengenalkan budaya lewat cerpen 😍 artikel yang layak dibaca oleh semua kalangan
BalasHapusJadi pengen jalan jalan ke sana 😅
BalasHapuscara yang menarik untuk memerkenalkan budaya, supaya budaya sebagai identitas bangsa tidak hilang
BalasHapus